Muslim Indonesia itu fantasinya kadang terlalu tinggi sehingga gampang muncul mitologi dan kultus individu. Hal ini wajar, karena kebanyakan muslim Indonesia dihidupkan oleh susastra, baik tutur maupun tulisan. Bahkan, dalam lingkup perayaan yang besar berupa peringatan hari-hari tertentu, terutama pada haul seorang wali atau masyayikh yang terkenal.
Wali Menurut Gus Mus
Dalam ceramahnya, Gus Mus (KHA Mustofa Bisri) menyitir dari Al Quran surat Al Ahqaf ayat 13;
اِنَّ الَّذِيۡنَ قَالُوۡا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسۡتَقَامُوۡا تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ الۡمَلٰٓٮِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوۡا وَلَا تَحۡزَنُوۡا وَاَبۡشِرُوۡا بِالۡجَـنَّةِ الَّتِىۡ كُنۡتُمۡ تُوۡعَدُوۡنَ
Sungguh, orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.”
Menurut Gus Mus, ayat ini paling mudah dan paling moderat untuk menjadi seorang wali, karena syaratnya pun cukup gampang. Pertama, menyatakan keimanan, Allah Rabbuna. Hal ini bisa diimplementasikan melalui syahadat sebagai syarat seorang mukmin. Di samping, sejak jauh-jauh hari ketika masih berada di dalam rahim (kandungan) setiap mukmin sudah mengikrarkan diri kepada Allah Taala sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surat Al A’raf ayat 172;
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا۟ بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَآ ۛ أَن تَقُولُوا۟ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَٰفِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengambil keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sungguh kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Kedua, istiqamah. Dalam menetapkan hati untuk beriman kepada Allah Taala harus dengan penuh keyakinan dan terus menerus. Nonstop. Tidak boleh berhenti.
Ketiga, kedatangan malaikat. Akan datang malaikat yang memberikan kabar dan ketetapan hati, seorang wali tidak akan takut, apalagi khawatir. Malaikat ini tidak perlu difantasikan macam-macam dalam rupa dan wujud. Ia bisa langsung berkata di dalam hati yang bersih karena keistiqamahan beriman tadi.
Dari tiga kriteria yang dijelaskan ayat Al Quran surat Al Ahqaf ayat 13 tersebut, maka sejak lahir seorang muslim dan mukmin itu sudah menjadi wali. Sebab, wali dalam pengertian Gus Mus berarti “bala”, kekancan atau pasukane Gusti Allah.
Maka, jika pemeluk Kristen saja bangga menjadi anak-anak Allah seperti Yesus, mengapa umat Islam justru mempersulit diri untuk mengatakan dirinya balane Allah?
Perkara Rumit Makrifat
Terakhir, umat Islam, terutama kalangan santri, sering mempersulit diri dengan pelanggeran-pelanggeran, definisi-definisi, banyak hal dalam beragama sehingga akhirnya mempersulit diri.
Tatacara atau kaifiyat itu perlu dan penting, tapi tidak njelimet. Perkara makrifat misalnya, definisi susastra sering diartikan sebagai weruh sakdurunge winarah. Itu, kan, definisi orang Jawa? Kalau definisi makrifat demikian, lantas apa bedanya dengan dukun dan tukang ramal? Mereka bisa jauh lebih pandai memprediksi sesuatu. Apalagi dengan kemajuan-kemajuan ilmu dan teknologi seperti saat ini.
Nah, manusia itu sejak azali adalah ruh suci dari Allah Taala. Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surat Al Hijr ayat 29;
فَاِذَا سَوَّيْتُهٗ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهٗ سٰجِدِيْنَ
Maka, apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan ruhKu ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
Oleh karena itu, hukum membunuh manusia dalam Islam itu hukumannya berat. Karena, ada ruh Allah di situ.
Jadi, kalau ada orang yang mengingkari adanya wali Allah berarti mengingkari Al Quran yang dengan jelas, gamblang, menyebutkan demikian.
Wallahul Musta’an.