Negara dengan berfilosofi Pancasila sebaiknya memang tidak berbisnis. Tidak turut andil dalam bisnis, tapi memimpin bisnis. Hal ini merujuk kepada masa kenabian, jika kepemimpinan Nabi Muhammad saw tidak turut campur atas terjadinya inflasi pasar. Dalam konteks “negara”, Nabi Muhammad saw tidak pernah melakukan intervensi pasar.
Namun demikian, bukan berarti negara tidak bertanggung jawab dan abai begitu saja terhadap pasar.
Negara yang turut serta berbisnis sebagaimana yang terjadi sekarang, maka bukan lagi bisa dikatakan negara ber-Pancasila, melainkan kapitalis. Sebagaimana telah disebutkan oleh Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, 1940-2010), negara dengan model kapitalis memang mampu menciptakan kemakmuran tapi tidak berkeadilan. Sebaliknya, negara komunis dapat menciptakan keadilan tapi jauh dari kemakmuran. Maka, satu-satunya cara adalah jalan tengah. Negara adil dan makmur yang berkeadilan sosial sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Tren negara kapitalis melalui agenda neoliberalisme menjadi kerangka acuan bagi negara-negara di dunia saat ini sehingga menimbulkan kesenjangan tak berkeadilan. Munculnya perang di berbagai negara Afrika, Timur Tengah, Ukraina dan Rusia merupakan akibat dari ketidakadilan global ini.
Kemajuan finansial memang tidak bisa dihindari untuk pembangunan sehingga negara memerlukan pinjaman-pinjaman. Dan, negara menjadi lembaga yang paling dipercaya untuk mendapatkan pinjaman-pinjaman tersebut.
Menjadikan negara kapitalis yang bertumpu pada pengelolaan pinjaman ini memang sangat berisiko apalagi negara peminjam tidak cukup cakap untuk mengelola keuangan. Tumbuh suburnya korupsi bisa menyebabkan sebuah negara gagal dalam mengendalikan sektor keuangan ini.
Belum lagi penanganan-penanganan rumit pada pemisahan (sekularitas) antara umum dan agama sehingga berdampak pada sektor-sektor yang tidak efektif seperti pendidikan umum dan pendidikan agama, pengadilan umum dan pengadilan agama, ekonomi umum dan syariah, serta badan amil zakat dan lembaga asuransi. Hal ini menimbulkan kerumitan-kerumitan tersendiri yang berekses pada pemborosan-pemborosan dan “unfaedah”.
Konsep Islam Nusantara atau Islam membumi pada kehidupan-kehidupan sosial sering dipandang sumir dan nyiyir. Akibat dari sekularisme Belanda (memisahkan umum dan agama), antara Islam dan kehidupan umum secara sosial seakan masing-masing berdiri sendiri. Padahal, di dalam konsep integrasi, asimilasi, dan resepsi telah mampu menjawab problem-problem realitas integral.
Bagi umat Islam, “body concept” adalah contoh terbaik sehingga tidak memerlukan penafsiran-penafsiran lain tentang filosofi keislaman, karena sudah termuat dan tercakup di dalamnya, di samping Pancasila merupakan buah pikir manusia Indonesia yang sumber-sumbernya digali dari khazanah budaya Indonesia.
Maka, ketika berbicara pesantren sebagai representasi model pendidikan integral di Indonesia bukan berarti kemunduran, karena masa kemunduran itu seharusnya sudah berakhir dengan tetap berlakunya polarisasi umum dan agama. Konsep pendidikan pesantren tidak melulu dimiliki oleh umat Islam saja, melainkan juga pada agama-agama lain seperti seminari di lembaga pendidikan Katolik, ashram bagi kalangan Hindu, serta sanggha atau vihara bagi kalangan Buddha. Model ini serupa tapi tak sama, di samping akan berlaku efektif dan penghematan anggaran.
Secara teori, umat Islam sudah memiliki konsep “Al ‘adah muhakkamah” yang berarti agama dapat berintegrasi pada sektor-sektor budaya, termasuk semua pandangan yang selama ini dianggap umum dan sekuler.