Sebelum kedatangan suku-bangsa Barat, negeri-negeri di Nusantara hampir tidak mengenal sekat-sekat sosial seperti saat ini. Dinamika politik antara kerajaan dan pesantren berjalan dinamis. Nyaris tanpa konflik. Bahkan, saling melengkapi. Di satu sisi, kalangan istana belajar agama di pesantren, sebaliknya kalangan pesantren tidak sedikit menjadi pejabat dan penasehat istana. Antara hukum Islam dan adat istiadat pun berasimilasi dan meresepsi dengan baik. Tidak ada dikotomi.
Thariqah di Tengah-tengah Istana
Ajaran-ajaran thariqah menjadi ruh suatu negara atau kerajaan. Negara besar seperti Kekaisaran Usmaniyah didukung kuat oleh adanya perkembangan thariqah Al Naqsyabandiyah. Begitu pula, Dinasti Fathimiyah yang didukung oleh “thariqah” Syiah. Dinasti Mughal di India juga didukung oleh thariqah Syattariyah. Di Maroko juga didukung oleh thariqah Idrisiyah. Ada banyak thariqah yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Bagaimana dengan Nusantara? Pertama, Kerajaan Aceh Darussalam didukung oleh thariqah Qadiriyah pada masa Syekh Hamzah Fansuri. Kemudian, didukung oleh thariqah Syattariyah dengan mursyid Syekh Abdurrauf Singkel atau Syiah Kuala pada masa Sultan Iskandar Muda. Begitu pula di Cirebon, Sunan Gunungjati sebagai Raja Pandita adalah pengamal thariqah Kubrawiyah dan Syadziliyah. Jika diteliti dengan seksama, maka semua kerajaan di Nusantara didukung penuh oleh kegiatan-kegiatan thariqah. Mulai dari kegiatan militer hingga kesenian. Pada beberapa negara seperti Buton di Sulawesi, ajaran Martabat Tujuh pada thariqah Syattariyah menjadi pedoman penyelenggaraan atau Hukum Tatanegara.
Kedua, hukum yang berlaku adalah fiqh falsafi. Karena, mendapat pengaruh kuat dari ajaran Imam Al Ghazali. Fiqh falsafi ini melihat prinsip-prinsip kemaslahatan dan keadilan di dalam penegakan hukum, meskipun secara korelatif juga sangat berpokok pada qiyas Imam Al Syafi’i. Penerapan hukum-hukum fiqh ini berlaku setelah mayoritas warga negeri mulai memeluk Islam. Sementara negara-negara di pedalaman seperti Mataram masih memakai prinsip-prinsip thariqah Syattariyah yang lebih longgar. Dengan kata lain, dinamika hukum fiqh dan negara sangat dinamis. Penggunaan istilah “hukum fiqh” di sini untuk menjelaskan kalau fiqh bagi masyarakat awam berarti hukum, bukan fiqh dalam pengertian bahasa yang berarti “paham”. Di beberapa tempat, hukum juga digunakan untuk istilah syara atau syariat dengan konotasi yang sama. Fiqh, syara, dan syariat dengan konotasi hukum ini berlaku di Kerajaan Siak ketika Sang Sultan turun langsung memimpin sidang pengadilan.
Jadi, problematika masyarakat Nusantara sebenarnya bukan pada persoalan Islam atau tidaknya sebuah negara, melainkan seberapa jauh penerapan fiqh, syara, atau syariat yang berkonotasi hukum tersebut dapat berlaku positif. Itupun dilandasi dengan prinsip-prinsip filosofis.
Kesatuan Desa dan Pesantren
Bagi masyarakat desa atau nagari (di Sumatera Barat), hukum dengan konotasi fiqh, syara, atau syariat tersebut berjalan sangat cair tanpa ada intervensi dari kerajaan. Hal ini karena pesantren, meunasah, atau surau dapat berasimilasi dengan baik dengan masyarakat. Ketika hukum dapat diterima atau diresepsi oleh adat istiadat. Tidak ada fiqh, syara, atau syariat yang bertentangan dengan adat istiadat, kecuali yang memang jelas merusak lingkungan sosial. Demikian pula, persoalan Tauhid bukan persoalan krusial, karena bisa dijelaskan dengan akal melalui ilmu Kalam.
Fiqh, syara, atau syariat tersebut manunggal atau menyatu di dalam adat istiadat. Maka, tidak heran, jika kemudian di Jawa dikenal istilah “manunggaling kawula lan gusti”, begitu pula di Sumatera Barat dikenal istilah “adat basandi syara, syara basandi kitabullah”. Hal ini merepresentasikan telah terjadi asimilasi antara fiqh, syara, atau syariat ke dalam adat istiadat.
Barulah kemudian setelah Cornelis Snouck Hurgronje memisahkan antara fiqh, syara, dan syariat sebagai kata “hukum Islam” di satu sisi dengan hukum adat dan hukum Negara Hindia Belanda di sisi yang lain; mulai terjadi polarisasi hukum yang sekarang masih dapat disaksikan di Indonesia dengan adanya Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Di ranah politik demikian pula terjadi, ketika ideologi nasionalisme dibedakan dengan ideologi Islamisme. NU dan Muhammadiyah sering tidak dikatakan nasionalis, karena dilihat dari sudut pandang ideologi ini. Paham demikian peninggalan Belanda yang masih diajarkan di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi. Padahal, pada dasarnya, mereka sama-sama umat beragama Islam yang dibedakan oleh pilihan warna dan corak ideologi masing-masing.
Pancasila merupakan kerangka besar ideologi yang telah hidup di desa ke dalam kerangka negara. Intisarinya, diambil dari saripati pengalaman manusia Nusantara yang panjang antara agama dan adat istiadat. Sehingga menjadi manusia berbudaya yang dimulai dari desa adalah satu-satunya pilihan untuk persatuan dan kesatuan bangsa saat ini.