Indonesia dibangun dari ideologi-ideologi yang tumbuh sejak masa Pemerintahan Hindia Belanda (PHB). Ketika sebagian masyarakat Indonesia mendapat hak previllage belajar di sekolah-sekolah milik pemerintah. Masyarakat elit (terpelajar) demikian kemudian menjadi pelopor pergerakan mahasiswa di kampus-kampus, baik di negeri Belanda sendiri maupun di Hindia Belanda.
Ragam Ideologi
Ideologisasi pergerakan tumbuh dari komunitas-komunitas terpelajar dalam membangun kesadaran. Terutama, atas kemerdekaan Republik yang kemudian massif. Tidak hanya pada ranah kampus saja, tetapi hak itu kemudian diberikan pula pada ranah politik praktis. Sehingga sejarah baru pun mulai bergerak maju.
Kemajuan ideologi pergerakan ini tidak berdiri sendiri. Ada beberapa asumsi yang dapat ditelusuri sejalan dengan relasional yang terus berkembang secara internasional.
Ideologi Islam sering merujuk kepada Komite Mesir yang dikumandangkan oleh pembaharuan Mohammad Abduh dan Jamaluddin Afghanistan. Gerakan di Mesir ini menyusul perubahan status politik negara-negara Arab dari keruntuhan Kekaisaran Usmaniyah di Turki pada Perang Dunia Pertama.
Ideologi nasionalis sering merujuk kepada sarjana-sarjana yang mendapat kesempatan belajar di Eropa, terutama Belanda. Ideologi nasionalis ini terdiri dari varian-varian sosialis, liberalis, bahkan komunis. Satu pandangan yang merujuk kepada perubahan sosial di Eropa.
Terakhir, ideologi kebangsaan. Meskipun ideologi kebangsaan lahir dari nasionalisme Barat, tapi memiliki orientasi yang berbeda. Elan vitalnya bisa sama yang berangkat dari suku-bangsa. Namun, nasionalisme yang dipahami dalam terminal Barat adalah masalah kewarganegaraan (netizens). Nation state tidak melihat asal usul suatu suku-bangsa sebagaimana pandangan Setia Budi (Ernest Douwes Dekker) dan kawan-kawan. Nation state baginya adalah suku-bangsa yang terdaftar oleh administrasi negara. Meskipun ia bersuku-bangsa Eropa, China, Arab, maupun India, asalkan ia tercatat sebagai warganegara Indonesia, maka mereka adalah juga bagian dari suku-bangsa Indonesia. Dengan kata lain, nation state adalah kewarganegaraan yang tidak melihat latar belakang sejarah dan suku-bangsa tertentu.
Perdebatan banalitas ini yang masih sering terjadi dan sulit dipahami oleh antarkelompok penganut ideologi. Meskipun tidak jarang juga saling memanfaatkan antara satu dengan yang lain.
Budaya sebagai Sesuatu yang Hidup
Sebagaimana sejarah, budaya adalah sesuatu yang terus hidup dari masa awal penciptaan manusia hingga sekarang. Selagi masih ada sejarah (manusia) maka masih ada pula budaya, meskipun memiliki tingkat intensitas yang berbeda.
Budaya bisa menjadi dasar pijakan suatu negara bangsa seperti saat ini, juga bagi negara kerajaan pada masa lalu Indonesia. Material dan mentalnya bisa saja sama meskipun tetap terjadi perubahan sosial.
Pada tahap ideologis, tuduhan-tuduhan feodal menjadi salah stigmatika terhadap kelompok tertentu karena dianggap tradisional dan terbelakang. Polemik kebudayaan semacam ini menjadi perdebatan sengit antara Sutan Takdir Alisjahbana di satu sisi dan Ki Hajar Dewantara pada sisi yang lain. Satu kelompok kemudian memberi stigmatika berbeda terhadap kelompok lain. Hal ini memberi peluang ideologi untuk bekerja pada masa-masa yang tidak terbatas pada ruang dan waktu. Bisa jadi pandangan kelompok Islam masih tetap berseberangan dengan kelompok nasionalis dengan memandang ciri-ciri tertentu. Dengan ciri-ciri pembeda yang dibuat-buat sehingga lepas dari akar sosial dan budaya. Dengan kata lain, perbedaan muncul dari stigmatika formal daripada esensi moral kemanusiaan sebagai makhluk sejarah.