Seorang teman penyair berkata, mungkin hanya agama Hindu yang telah melahirkan epos-epos susastra sebagaimana Ramayana dan Mahabharata. Kisah-kisahnya secara material bertulang daging. Dan, satu teman lagi berbicara, memang Al Quran disampaikan secara simbolik, tidak terang-terangan. Karena, Al Quran berbicara tentang esensi moral.
Kata-Fakta dalam Al Quran
Bahasa Al Quran memuat indeks kata-fakta yang bisa dijadikan kode atau kata kunci pembuka dalam rincian penjelasan (bayan) yang panjang. Ia mengandung muatan sejarah, susastra, bahkan hitungan-hitungan numerik. Mayoritas ulama berkeyakinan dan berpendapat, jika keunggulan bahasa Al Quran tersebut merupakan mukjizat (i’jaz) untuk mengalahkan keunggulan susastra suku-bangsa Arab pada waktu itu. Pada waktu Al Quran diturunkan, semisal ketika Musailamah Al Kazzab menyebut syairnya bisa menandingi ayat-ayat Al Quran. Cerita Musailamah dengan syair الفيل. ماالفيل. وماادراك ماالفيل, telah menjadi populer di kalangan kiai tajwid untuk menunjukkan kemukjizatan Al Quran dari segi kehebatan bahasanya.
Di dalam Al Quran surat Al Nur ayat 33 disebutkan;
…وَلَا تُكۡرِهُواْ فَتَيَٰتِكُمۡ عَلَى ٱلۡبِغَآءِ إِنۡ أَرَدۡنَ تَحَصُّنٗا لِّتَبۡتَغُواْ عَرَضَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَمَن يُكۡرِههُّنَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ مِنۢ بَعۡدِ إِكۡرَٰهِهِنَّ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
Janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Siapapun yang memaksa mereka, maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa.
Kata البغاء (begenggek dalam bahasa Jawa Timur atau pelacur) disebut dengan konotasi yang jelas. Tidak dalam konotasi yang lain. Sebab, di dalam sebab-sebab turunnya ayat tersebut dilatarbelakangi oleh kasus Mu’adzah dan Musaykah, dua budak perempuan Abdullah bin ‘Ubay. Keduanya dipaksa untuk melacurkan diri dengan tujuan mendapat keuntungan dari tarif praktik prostitusi.
Tentu, penafsiran terhadap ayat tersebut secara lebih jelas jika dilihat pula dari sudut sosiologi. Kebiasaan masyarakat Jahiliah dalam memperlakukan budak perempuan.
Penggunaan Kata-kata Simbolik
Sang teman berkata, ayat-ayat Al Quran itu bukan fakta sejarah, tapi ajaran moral yang bisa ditarik ke dalam realitas. Surat Al Nur ayat 33 tersebut dapat diambil contoh manakala menarik tarif dengan tujuan komersial dari praktik prostitusi dilarang agama pada makna-makna universal. Kapanpun dan di manapun. Sejarah memiliki lokasi dan tempat tersendiri.
Namun demikian, bukan berarti kode-kode Al Quran tidak berlaku dalam sejarah. Meskipun bahasa yang disampaikan oleh Al Quran adalah simbolik. Tentu, Al Quran juga tidak semata berbicara pada aspek-aspek futuristik dan kekinian. Al Quran juga berbicara tentang kisah-kisah masa lalu seperti Kaum ‘Ad, Kaum Tsamud, suku-bangsa Yahudi yang memerlukan orientasi-orientasi susastra dan fakta-fakta sejarah. Dari manakah referensi tentang masa lalu dapat diambil untuk menjelaskan ayat-ayat yang berbicara tentang sejarah masa lalu itu? Jika pun ulama-ulama tafsir belakangan seperti Imam Al Thabari (Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Al Quran) berhasil menulis kitab-kitab tafsir berjilid-jilid, dari manakah diambil sumber-sumber referensinya?
Tentu, jawabannya tidak begitu saja sublimatif karena membutuhkan fakta-fakta arkeologis. Pun, susastra yang melibatkan ilmu-ilmu bahasa dari sumber-sumber otentik. Jika hanya memandang makna-makna simbolik yang sublimatif, serta sekadar intisari dari pesan-pesan moral, lalu apa bedanya dengan syair-syair Bhagavad Gita?