Beberapa tahun yang dekat, tema-tema diskusi bernuansa tasawuf marak di media-media sosial. Mulai dari Buya Syakur Yasin, Buya Husein Muhammad, Buya Said Aqil Siroj, Gus Baha (KH Bahauddin Nur Salim), Dr Fahruddin Faiz, KH Lukman Hakim Al Sufi, Abuya Ar Rozi Hasyim, dan lain-lain. Pada tahun 2000an, sebuah penerbitan buku di Yogyakarta berani secara spekulatif menerbitkan buku-buku bertema tasawuf dengan nama Pustaka Sufi.
Tema-tema tasawuf ini sebetulnya bukan hal yang asing bagi masyarakat muslim di dunia. Tegaknya kekuasaan politik Islam tidak lepas dari peran tasawuf ini. Begitu pula pada wahana-wahana ilmu pengetahuan, hukum, seni, maupun etika pergaulan. Secara keseluruhan, tersebarnya Islam dan budaya mayoritas umat Islam di dunia tidak lepas dari aspek asawuf ini.
Ruh Tuhan pada Diri Manusia
Perwujudan alam semesta beserta isinya (manusia) adalah manifestasi dari Allah Taala. Atau, bisa diibaratkan, alam semesta beserta isinya adalah (tajalliyat) Allah itu sendiri. Filsafat China menyebutnya kosong adalah isi; isi adalah kosong. Di dalam istilah susastra disebutkan, isi adalah bentuk (prosa, puisi, dan drama); bentuk adalah isi. Di sini, pengertian manunggal didapat dan menjadi muara tasawuf dalam istilah yang berbeda-beda antara fana, hulul, wihdat, ittihad, mahabbah, dan seterusnya. Adapun tahapan-tahapannya dapat dicapai melalui praktik-praktik thariqah. Ketika salik (pelaku thariqah) berusaha mencari muara tasawuf itu.
Syekh Abdul Karim Al Jilli membagi diri manusia kepada dua unsur, ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut). Unsur ketuhanan itu yang disebut dengan ruh atau umat Hindu menyebutnya “Jnani”; sementara orang Jawa menyebutnya “Yoni”. Maka, tidak heran, jika kemudian ada penghormatan-penghornatan terhadap gunung, pohon, laut, dan sebagainya, karena menghormati unsur ketuhanan ini.
Khusus pada penciptaan Adam, disebutkan dalam Al Quran surat Al Hijr ayat 29;
فَاِذَا سَوَّيْتُهٗ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهٗ سٰجِدِيْنَ
Maka apabila Aku telah menyempurnakan (penciptaan)nya, dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
Asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya) ayat tersebut menyebutkan agar Nabi Muhammad saw mengingatkan kepada umatnya; yang dimaksud dengan bersujud kepada Adam pada hakikatnya bersujud kepada Allah Taala. Tapi, karena kebodohan, Iblis tak mau melakukan sujud yang diperintahkan oleh Allah itu.
Dengan sombong, Iblis berkata, “أنا خير منه، خلقتني من نار وخلقته من طين. Aku lebih baik darinya. Aku terbuat dari api sementara dia dari tanah liat.
Indonesia dan Ketuhanan
Dengan demikian, betapa Islam mudah diterima oleh suku-bangsa Nusantara, karena problematika ketuhanan sudah selesai. Secara budaya bisa berasimilasi dan meresepsi, dari segi keyakinan sudah ada kompromi dan revisi. Hanya problem politik saja yang belum selesai. Sehingga agama yang sejatinya bisa berkompromi dengan budaya dan masyarakat, justeru menjadi alat kepentingan-kepentingan politik tertentu.
Hal ini dapat dilihat dari hakikat perjuangan terhadap syariat Islam di Indonesia yang lebih bernuansa politis daripada perjuangan keadilan. Syariat Islam lebih dipandang sebagai ideologi daripada sebagai ajaran moral yang berbudaya.
Terbukanya kran reformasi telah memberi ruang terbuka untuk menafsirkan ideologi dengan cara yang lebih dinamis. Ideologi Pancasila yang tertutup pada masa Orde Baru hanya bisa ditafsirkan secara tunggal oleh negara sebagai Asas Tunggal. Namun, risiko dan konsekuensi keterbukaan tersebut justeru telah mengundang kehadiran liberalisme-sekuler.
Syariat Islam menjadi wahana baru sebagai alat ideologi untuk memperjuangkan hukum dalam pemahaman. Bukan Islam itu sendiri yang berarti keselamatan dan kedamaian. Tidak pula menghadirkan Syariat Islam yang mengajarkan tentang kemaslahatan dan prinsip-prinsip keadilan.
Dalam situasi yang kacau, tasawuf senantiasa hadir agar dapat menjadi gerakan moral untuk menegakkan kemaslahatan dan prinsip-prinsip keadilan dengan cara yang lebih santun dan beradab.
Sementara nasionalisme merupakan wujud budaya yang dilahirkan oleh pemikiran-pemikiran baik manusia yang didukung penuh oleh spirit ketuhanan yang dimiliki oleh agama. Dengan demikian, bukan model dan sistem sebuah negara yang menjamin kemakmuran dan keadilan, tapi tergantung manusia di dalam menunaikan ajaran-ajaran agama dan prinsip-prinsip budayanya.
Di dalam situasi ini, manusia dituntut untuk tidak lebih bodoh daripada Iblis dengan memandang ideologi secara lebih kritis sebagai buatan manusia. Dengan atas nama apapun, termasuk agama di dalamnya.