Setidaknya, masyarakat Indonesia bertanya, “Akan lari kemanakah wajah Wahabisme di Indonesia pascaperubahan sistem di Arab Saudi?” Hal ini setelah melihat kondisi dari reformasi yang dilakukan oleh Putera Mahkota Muhammad bin Salman (MBS) terhadap dominasi Wahabisme yang mulai ditiadakan. Memang, tidak ada pemahaman tertutup (otoritarian) yang benar-benar mampu bertahan lama dengan mengabaikan keragaman, terutama pada era keterbukaan informasi seperti saat ini. Pun, sebaliknya, terbuka dengan seterbuka-bukanya pemahaman hingga berdampak pada liberalisme tak terkontrol dan tidak menemukan ketidakpastian. Ambivalensi.
Islam dan Ideologi
Islam beserta praktik-praktiknya dalam kehidupan, mau tidak mau, tidak bisa terlepas dari ikatan-ikatan ideologi. Baik secara sadar atau tidak. Dan, Islam dipandang sebagai agama yang memiliki ikatan ideologi yang kuat karena terapan hukumnya. Namun, ketika ideologi tersebut menjadi sangat terikat, terutama dalam pandangan yang tertutup, maka ia akan menjadi praktik-praktik otoriter misalnya pada Islam kaffah (totalitarian). Istilah totalitarian atau total ini untuk pertama kali diperkenalkan dan dipraktikkan oleh Vladimir Lenin dan Stalin ke dalam ideologi komunisme. Di China, praktik totalitarian dipraktikkan oleh Mao Zedong ke dalam idelogi sosialisme. Bagi suku-bangsa beragama Islam, praktik-praktik totalitarian digunakan ke dalam istilah dan sebutan “kaffah” yang dibingkai ke dalam bentuk pendidikan dan pengajaran sehingga menimbulkan satu hierarki. Hal ini terbukti dalam sejarah suku-suku-bangsa yang beragama Islam. Mereka mendirikan suatu daulah dengan landasan hierarki agama. Dengan demikian, selama praktik-praktik tersebut bersifat totaliter atau kaffah, maka antara komunisme, sosialisme, dan islamisme memiliki arti yang sama. Sama-sama keras, sama-sama radikal, pun sama-sama intoleran. Meskipun dengan sebutan yang berbeda-beda seperti republik, kerajaan (mamlakah), keemiran, atau kesultanan. Namun, pada prinsipnya dikuasai oleh satu dinasti keluarga. Untungnya, Indonesia dengan moderasi republiknya masih mampu mengakomodasi sebuah sistem rasional ke dalam model republik demokratis. Tidak mengunggulkan satu suku-bangsa atau agama tertentu.
Masa Depan Wahabisme
Wahabisme sebagai sebuah harakah (gerakan) yang lahir di Arab Saudi berfungsi sebagai alat menyatukan ideologi dalam menjalankan supremasi daulah Dinasti Al Su’udiyah. Dengan atas nama Wahabisme (yang sekarang bersalin rupa menjadi Salafi atau penyeru Sunnah), Wahabisme menjadi ideologi negara yang kemudian disebarluaskan ke seluruh dunia. Fatwa-fatwa mereka mendukung adanya gerakan-gerakan totalitarian (kaffah) di seluruh dunia, terutama Timur Tengah, seperti Al Qaeda, ISIS, JIT, JID, dan seterusnya. Tujuan dari gerakan-gerakan demikian adalah untuk menggoyahkan atau mengganti ideologi pemerintahan yang sah. Mereka melakukan gerakan-gerakan sparatis radikal melalui terorisme.
Zaenal Abidin dalam “Wahabisme, Transnasionalisme, dan Gerakan-gerakan Islam Radikal di Indonesia” (Tasâmuh Volume 12, No. 2, Juni 2015) mendefinisikan; “Wahabisme diasosiasikan oleh para pengamat sebagai kelompok aliran Islam garis keras, tidak toleran dengan pemahaman Islam yang lain. Ideologi kelompok garis keras adalah totalitarian-sentralistik dan menjadikan agama sebagai referensi teologis.”
Seperti komunisme dalam ideologi Leninisme-Stalinisme bersifat totaliter. Negara mengambil alih semua keputusan tunggal ideologi dan hukum. Maka, Wahabisme memiliki pola dan terapan yang sama. Menurut Zaenal Abidin, “Pandangan ideologis yang bersifat totalitarian-sentralistik terhadap syari’ah termanifestasi ke dalam hukum yang totaliter dan sentralistik pula. Artinya, hukum harus mengatur semua aspek kehidupan umat tanpa terkecuali dan negara mengontrol pemahaman dan aplikasi secara menyeluruh pula.” Sifat-sifat totaliter ini dapat diwujudkan dalam terapan fiqh (pemahaman sekelompok atau mazhab) yang sering dibahasakan di kalangan masyarakat dengan sebutan “syariah” atau “syar’i”. Perdebatan fiqh ini sebagaimana di Indonesia tidak pernah mengalami pasang surut, karena pada praktik-praktik totaliter dan sentralistik di negara-negara yang dikepalai oleh seorang malik, amir, atau sultan sangat efektif dilakukan. Berbeda sifatnya ketika suatu negara membentuk suatu dewan parlementer ketika persoalan hukum tidak total berada di satu tangan seorang raja/malik, amir, atau sultan. Suatu putusan hukum tidak berdasarkan pada selera sang raja/malik, amir, atau sultan. “Oleh sebab itu, klaim teologis yang mereka sampaikan sebenarnya menjadi manuver politik untuk berlindung dari serangan siapa pun yang tidak mendukung atau bahkan menentang mereka, yaitu; agama menjadi alat mereka untuk meraih kekuasaan, sehingga cenderung menaruh dan memanfaatkan keyakinan bahwa manusia telah diatur oleh Allah Swt, dan menjadikannya sebagai “entry-point” bagi para pengikut Wahabi untuk mengatur dan menguasai rakyat”.
Dengan demikian, totalitarian dan sentralistik yang dihadirkan oleh Wahabisme tak ubahnya pemahaman tunggal seperti komunisme dan sosialisme, senyampang dilakukan dengan cara-cara otoriter dan tidak segan-segan untuk represif. “Wahabi sebagai aliran garis keras percaya bahwa mereka adalah wakil Tuhan di bumi (Khalifah Allah Fil-Ardl) yang mengatur semua urusan manusia untuk menyeru manusia kepada jalan Allah,” lanjut Zaenal Abidin.
Manifestasi raja adalah wakil Tuhan telah memberi legitimasi kekuasaan seorang malik, amir, dan sultan untuk menentukan hukumnya sendiri. Dan, tidak sungkan-sungkan untuk menyatakan diri mereka sebagai khalifah. Legitimasi ini dapat dengan mudah didapat di dalam tafsir-tafsir dan pemahaman-pemahaman yang dangkal dan “letterleijke”. Mereka membentuk suatu partai tersendiri sebelum kekuasaan tunggal dengan atas nama wakil Tuhan itu berhasil diraih.
“Para aliran garis keras tersebut, di samping memurnikan ajaran Islam juga ingin mempertahankan sistem khilafahan seperti: Ikhwanul Muslimin, Jamaah Muslimin (at-Takfir Wa al-Hijrah), Jamaah Syabab Muhammad, Wahabi, dan sejenisnya.”
Ketika faham totalitarian dan sentralistik tersebut belum terbentuk, mereka membuat satu nota kesepahaman secara internasional dengan dan atas nama ideologi Islam. Mereka membangun suatu pemikiran awal dan mendasar pada fundamentalisme (dalam praktik-praktik sporadik tak sungkan melakukan perlawanan-perlawanan radikal). Sebagaimana disebutkan oleh Zaenal Abidin, “Di Indonesia sendiri kemunculan gerakan fundamentalisme mulai terlihat pasca-Orde Baru seperti cendawan di musim hujan yang tumbuh dengan subur berkembang dan menjamur dalam kehidupan masyarakat, seperti FPI (Front Pembela Islam), Majlis Mujahidin Indonesia), dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).”
Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang sebagai pandangan hidup dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang telah dirintis oleh Rasulullah Saw melalui Pakta “Piagam Madinah”. Mereka membuat tafsiran sendiri dengan tujuan-tujuan keluar (khawarij) dari pandangan umum dan mayoritas umat Islam yang rasional dan konstitusional.