Jika ditanya, apa sumbangan terbesar Imam Al Ghazali (1111 Masehi) bagi dunia Islam? Dunia Islam di sini dalam pergertian luas mencakup filsafat, tasawuf, fiqh, hadis, dan disiplin keilmuan secara keseluruhan. Jawabnya tentu merujuk pada pendapat umum: Imam Al Ghazali telah berhasil “mendamaikan” fiqh dan tasawuf.
Lalu, muncul pertanyaan berikutnya, dimanakah letak damai itu? Apa yang didamaikan? Dan, bagaimanakah mendamaikan itu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dikembalikan kepada realitas sebelum masa Imam Al Ghazali atau sedang dialami olehnya ketika itu. Karena, tidak pernah muncul kata sepakat di antara ulama-ulama fiqh (fuqaha) dan ulama-ulama tasawuf. Kedua kelompok tersebut selalu berbeda pendapat dan juga saling menjatuhkan. Terutama, pada masalah praktik-praktik agama misalnya yang paling esensial, sholat. Masalah pelaksanaan dan praktik sholat bagi ulama-ulama fiqh adalah wajib (fardu) yang tidak boleh tidak untuk tidak ditinggalkan meskipun batin si pelaku sholat tersebut kosong, karena yang dihukumi adalah lahirnya yang tampak. Maka, dengan kata lain, khusuk tidak khusuk sholat seseorang asalkan dikerjakan dengan lengkap syarat dan rukunnya maka sudah dianggap sah.
Namun, tidak demikian bagi ulama-ulama tasawuf, belum meningkat sholat seseorang selama belum khusuk. Maka, yang diatur kemudian adalah menjaga kekhusyukan terlebih dahulu baru kemudian melaksanakan sholat secara fi’liyah (perbuatan). Dan, untuk menjaga kekhusyukan ini, maka diperlukan pemaknaan dan penghayatan yang mendalam. Rumit, bukan? Belum lagi jika harus merambah pada pemaknaan-pemaknaan filosofis tentang sholat melalui pengalaman yang tidak sebentar. Itupun kalau ketemu juga. Kalau tidak?
Ada yang berpendapat: sholat itu harus yakin berdasarkan keimanan. Nah, hal ini semakin ambigu untuk memaknainya. Karena, kalau ditanya tentang iman mesti jawabannya dikembalikan kepada rukunnya, bukan iman itu sendiri. Iman ya percaya. Percaya itu yakin.
Hal demikian adalah salah satu contoh perdebatan antara ahli fiqh dan ahli tasawuf. Dan, sering, ujung-ujungnya, jawabannya menjadi simpel dengan memisahkan jarak antara fiqh dan tasawuf. Antara akal atau logika dengan perasaan (hissi). Ahli fiqh menolak rasa yang dikembangkan oleh ahli tasawuf, sementara ahli tasawuf menolak logika yang biasa digunakan oleh ahli fiqh. Lengkap sudah.
Nah, dari ketegangan-ketegangan antara logika dan rasa ini yang akhirnya menimbulkan sentimen-sentimen yang tidak berkesudahan antara pelaku tasawuf dan pengamal fiqh. Dan, rumitnya lagi, apabila memasuki ranah selanjutnya, Imam Al Ghazali masuk kategori ulama tasawuf amali/akhlaqi sementara Syekh Al Akbar Ibnu Arabi (1165-1240 Masehi) masuk kategori ulama tasawuf falsafi.
Dari sini, muncul satu pemikiran KH Abdurrahman Wahid (1940-2009 Masehi): “Puncak spiritualitas adalah realitas”. Agak sulit memang untuk memahami bagaimana wujud dari realitas sebagai spiritualitas itu jika tidak dikembalikan kepada pemikiran-pemikiran (filsafat) dari ulama-ulama tasawuf, termasuk Imam Al Ghazali sendiri. Amal/akhlak adalah realitas. Dan, semua realitas adalah bayang-bayang (aghyar) yang sewaktu-waktu bisa musnah (fana).
Di saat ini, nasionalisme adalah suatu kenyataan realitas yang juga patut diterima. Menjaga kerukunan, menebar kasih sayang, menerima perbedaan, atau menyantuni yang papa. Bukankah kepapaan adalah realitas? Mengapa ingin menjangkau yang jauh sementara yang di depan mata bisa diraba dan dirasakan? Persoalan Allah bisa hadir kini dan di sini, itu tergantung perasaan dan perabaan masing-masing. Dengan mengabaikan realitas dari spiritualitas, lantas apa bedanya dengan sekularitas?
Wallahul Musta’an.
Cirebon, 24 April 2022.