Negara kita secara resmi baru berumur 77 tahun lebih sedikit sejak Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Sedangkan usia suku-bangsa kita umurnya sudah ribuan tahun lebih sejak masa suku-bangsa Melanisia dan Polenisia tiba di Nusantara. Indonesia hari ini bisa saja dianggap sebagai kerangka akumulasi beragam yang kompleks dari masa silam yang cukup panjang. Tidak ada teori yang berlaku absolut dan permanen dalam merumuskan kenusantaraan ataupun keindonesiaan kita. Semua masih dalam proses untuk menjadi Indonesia.
Memang, kita sudah punya Pancasila dengan lima silanya yang bagus dan keren. Tuhan dan agama oleh para pendiri negara kita diletakkan pada urutan pertama. Artinya, sila ini lebih penting dari empat sila yang lain. Namun demikian, Indonesia bukan berarti telah, sedang, dan akan menjadi negara agama. Kecuali, jika pihak nonagama ikhlas dan legawa Indonesia menjadi negara agama. Selama belum ada kerelaan dari pihak nonagama maka falsafah dan dasar kita berbangsa dan bernegara tetaplah Pancasila seperti yang sekarang, tentunya dengan pemantapan dan perbaikan terus menerus.
Sering kita mendengar slogan bahkan teriakan bahwa Pancasila harga mati, NKRI harga mati, dan slogan slogan lain yang bernada sama lainnya. Itu tampak heroik dan nasionalistik memang. Tapi, hendaknya tidak sekadar jargon belaka. Sebab heroisme atau patriotisme dan nasionalisme bukan cuma kata kata yang manis dan merdu di telinga, melainkan lebih dari itu, pada praktik nyata dalam realitas berbangsa dan bernegara. Seribu slogan kosong tidak ada makna dan nilainya jika tidak diwujudkan dalam alam nyata.
Sudah 77 tahun usia Kemerdekaan Indonesia dan sudah 7 presiden yang memimpin. Ibarat umur manusia, usia tersebut sudah di ujung senja. Saatnya berbenah, saatnya “tobat nasional” dilakukan dengan sungguh sungguh. Seorang pembaharu dan penggagas tafsir-sastrawi Mesir, Amin Al Khuli (1895-1966), pernah berkata: “Awwalu tajdiid qath’ al qadim fahman; pembaharuan itu (bisa dimulai) dengan membabat habis sistem pemikiran lama.” Ini revolusi pemikiran namanya. Radikal memang, tapi patut dipertimbangkan untuk dapat dijadikan unsur pendorong dalam pembangunan di segala bidang.
Era kolonialisme dan imperialisme secara fisik memang sudah tamat. Orde Lama dan Orde Baru juga sudah berlalu. Bagaimana dengan Orde Reformasi? Tampaknya, masih setengah hati. Korupsi masih terus terjadi tidak terkontrol. Dari masa ke masa, “negara di dalam negara” yang dibentuk oleh sistem kroniisme masih saja terjadi. Sementara penegakan hukum masih lemah, bahkan kepolisian sekarang menjadi sumber masalah dengan adanya kasus “terduga bersalah” FS. Tidak hanya itu saja. Hutang kita terus meningkat. Pembangunan infrastruktur tidak selalu tepat dan bijak. Di bidang pendidikan masih suka gonta ganti kurikulum, padahal ilmu yang diajarkan ya itu-itu saja. Jika ada yang baru, paling jauh terkait metode atau pendekatan saja. Sedangkan aspek substansialnya akan tetap selamanya.
Bidang ekonomi masih pincang. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, ujar Bang H Rhoma Irama. Itu betul adanya. Tidak ada keinginan kuat dari pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Tidak ada rilis, berapa jumlah penduduk miskin di Indonesia. Sementara, yang diperlukan adalah lapangan kerja yang sesuai dengan watak budaya bangsa dan dapat memakmurkan seluruh “bangsa Indonesia”.
Bidang bidang lainnya pun sama, masih belum berani melakukan terobosan dan langkah baru yang khas Indonesia. Bisanya meniru asing, China dan Amerika misalnya. Mental meniru bukan mental merdeka. Ini mental kaum terjajah. Mental budak. Memang, revolusi mental sudah dicanangkan. Namun sayang, anggarannya masih sedikit. Padahal, yang namanya revolusi itu ya harus dengan ongkos mahal, triliunan, bukan miliaran saja.
Malangnya lagi, revolusi mental ternyata hanya berwujud dalam bentuk nyali berhutang yang edan edanan. Lupa bahwa hutang selamanya hutang yang harus dibayar lunas. Jika tidak, akibatnya negara akan tergadai ke pihak asing. Akibat lain, oleh Tuhan kelak pasti dimintai pertanggungjawaban. Apakah pemerintah kita punya kesadaran yang demikian? Semoga demikian. Kita tentu berharap kepemimpinan akan berakhir dengan husnul khatimah. Tidak menyisakan tragedi tragedi seperti masa lalu. Dan, bukan sebaliknya, su’ul khatimah.
Saran kami kepada pemerintah, cukup sudah berhutang ke pihak asing. Jangan terlalu ambisius untuk membangun negeri yang ujung ujungnya berutang, lagi dan lagi. Ingatlah, tidak ada makan siang gratis. Semua harus dibayar. Dengan apa? Pihak pihak asing seperti Amerika dan China tidak bodoh. Jika kita tidak bisa membayar dengan uang maka kompensasinya adalah sumberdaya alam kita yang akan mereka keruk hingga tuntas. Anak cucu kita mungkin tidak kebagian apa-apa, kecuali dapat hutang dan masalah semata.