Kasus pelanggaran HAM sangat sering terjadi, sehingga memelihara jiwa (hifdh al nafs) di dalam Islam menjadi salah satu tujuan Syariah (Maqashid Al Syariah). Ada banyak aturan hukum yang berat ketika telah menghilangkan nyawa seseorang, karena begitu mulianya di hadapan Sang Penciptanya. Berikut kisah Nabi Khidir as yang dapat disimak dari uraian Tuanguru Dzulmanni Al Banjari. (Redaksi).
Ketika Nabi Khidir Melanggar HAM
Kembali kepada kisah Nabi Musa as, ia masih bersikukuh dan tetap teguh pendirian, mencoba meyakinkan Nabi Khidir as bahwa dirinya sangat memenuhi syarat untuk menjadi seorang murid.
Maka, segeralah terjadi “drama Ilahi” yang menggetarkan iman semua orang, mengusik akal sehat, dan terkesan ngawur dan melanggar HAM.
Sedikitnya, ada 3 (tiga) keanehan Nabi Khidir as yang Allah abadikan di dalam Al Quran. Pertama, kasus pembocoran perahu milik seorang nelayan miskin yang dilakukan oleh Nabi Khidir as. Melihat kejadian aneh dan di luar nalar ini, Nabi Musa as pun segera protes.
Nabi Khidir dengan tegas mengingatkan akan janji yang telah disepakati. “Sudah kubilang, sampean tidak mampu untuk bersabar,” tegas Nabi Khidir as dengan sikap tenang penuh wibawa.
Nabi Musa as pun menyadari kekhilafan dan kedaifannya dan meminta untuk tetap bisa menjadi murid dan pengikut setia Nabi Khidir as.
Perjalanan penuh drama Ilahi ini pun berlanjut. Mereka bertemu dengan seorang anak laki laki (ghulam) yang secara tiba tiba dibunuh oleh Nabi Khidir as. Nabi Musa naik darah! Ia marah dan protes kepada Nabi Khidir as. Di mata Nabi Musa as, tindakan Nabi Khidir ini terang terangan melanggar syariat Allah. Tidak bisa diterima! Ini melanggar HAM dan mengkhianati akal sehat.
Apa jawaban Nabi Khidir as? Sama seperti tadi. Dan, Nabi Musa as kembali meyakinkan Nabi Khidir as bahwa dirinya masih pantes jadi murid yang sabar. Kali ini, Nabi Khidir as berucap: “Sekali lagi sampean protes, kita mesti harus berpisah.” Nabi Musa as tertunduk dan kembali menyanggupi kesepakatan yang telah dibuat.
Perjalanan dramatik ini pun kembali diteruskan. Mereka lalu menemukan sebuah rumah milik dua orang anak yatim yang rubuh. Rumah tersebut di dalamnya terdapat harta warisan yang tersembunyi untuk dua anak yatim tersebut. Nabi Khidir as tanpa diminta dan tanpa meminta upah sepeser pun merenovasi rumah rubuh tersebut. Kembali Nabi Musa as mengeluh dan protes. Jawaban Nabi Khidir as tegas: “Qaala haadzaa firaaqu bayni wa bainika!” Inilah saatnya kita berpisah, Musa! Nabi Musa as yang tak lulus ujian dari Nabi Khidir as tersebut dengan berat hati menerima kenyataan.
Lalu, Nabi Khidir as menjelaskan semua hal yang aneh di mata Nabi Musa as.
Kasus pertama, tentang pembocoran perahu nelayan. “Jika tidak dibocorkan maka semua isi perahu tersebut akan dirampas paksa oleh seorang raja yang lalim. Dengan dirusak, maka Sang Raja yakin perahu tersebut tidak ada muatan yang berharga. Maka, selamatlah nelayan bersama muatannya.”
Kasus kedua, pembunuhan terhadap anak laki laki. “Kedua orangtuanya saleh dan salehah dan kelak anak laki laki tersebut akan menjadi pendosa dan pendurhaka. Dengan dibunuh sejak dini maka selamatlah kedua orang tuanya, Allah telah menyelamatkan kedurhakaan anak laki laki tersebut terhadap kedua orangtuanya, dan pasti akan menggantinya dengan anak yang saleh.”
Kasus ketiga, merenovasi rumah rubuh. “Karena ada harta warisan yang tersimpan di dalam rumah tersebut untuk dua anak yatim. Dengan direnovasi, maka amanlah harta tersebut dari pencurian.” Demikian, tabayun yang diberikan Nabi Khidir as. Nabi Musa as pun paham dan akhirnya mereka berpisah.
Proses belajar Ilmu Hakikat pun khatam.
Pertanyaannya, apakah Nabi Khidir as telah melanggar hukum dan HAM? Secara zahir Syariat, iya, benar! Tetapi, secara hakikat tidak. Dan, dalam tiga kasus di atas, Allah dan Al Quran berpihak pada hakikat, bukan syariat. Inilah misteriusnya Allah dan Kitab Suci ini. Dan, kita sama sekali tidak boleh berburuk sangka apalagi membantah perintah Allah Taala.
Solusinya, pendekatan kita sepatutnya memakai pendekatan Ilmu Hakikat, bukan Ilmu Syariat. Jika Ilmu Syariat kita pakai menakar tiga kasus di atas maka kita otomatis menyalahkan Nabi Khidir as, menyalahkan Al Quran, bahkan menyalahkan Allah. Ini tidak boleh dan tidak benar.
Dengan pendekatan Ilmu Hakikat, maka tiga kasus di atas akan bisa dibenarkan. Di sini, kita akan segera tahu bahwa ajaran Islam bukan sekadar urusan kulit, tapi juga isi. Kulit dan isi memang sama sama penting, tapi dalam tiga kasus tersebut isi (hakikat) memang terasa lebih dominan. Meskipun, kita tidak gampang dan semena mena mengumbarnya dengan atas nama Allah.
Tuhan Maha Sutradara yang telah, sedang, dan akan terus membuat drama kehidupan yang bisa saja menggoyahkan iman kita pada mulanya, tapi akhirnya Dia membawa kita masuk ke dimensi lain yang baru yang penuh misteri, namun menakjubkan hati dan akal pikiran. Demikian kaya khazanah Al Quran yang masih perlu ditelaah dengan seksama oleh umat Islam sehingga tidak mudah mengambil kesimpulan. (Wallaahu a’lamu bisshawaab).