Dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada nabi nabi dan rasul rasul Allah yang lain, kedekatan Nabi Khidir as dengan parawaliyullah banyak merangkum kisah kisah terserak. Bahkan, secara khusus, Al Quran Al Karim mengabadikan ceritanya.
Ada satu pendapat yang mengatakan, nabi nabi yang diberi umur panjang seperti Nabi Idris as yang masih bersemayam di surga, Nabi Isa as yang diangkat oleh Allah ke langit, serta Nabi Khidir as dan Nabi Ilyas as yang setiap tahun berjumpa dan berdoa di Padang Arafah, status mereka diturunkan menjadi Wali Allah setelah Nabi Muhammad saw. Nabi nabi tersebut masih hidup tapi sebagai wali Allah. Mengingat, Rasulullah saw bersabda: tidak ada rasul dan nabi setelahnya, la nabiyya ba’dahu. Oleh karena itu, ada baiknya mengikuti kisah Nabi Khidir as dalam versi Tuanguru Dzulmanni Al Banjari berikut untuk diambilhikmahnya. (Redaksi).
Nabi Khidir adalah seorang nabi yang unik, aneh (khariqul ‘adah, orang pesantren menyebutnya), dan penuh misteri. Keberadaannya mengusik nalar, terkesan liar, nakal, dan enigmatik alias penuh teka teki.
Namanya tidak dicantumkan secara terang dalam Al Quran. Ia hanya disebut sebagai hamba yang saleh (abdun sholih). Keberadaan Nabi Khidir as lebih banyak diceritakan dalam hadis hadis Rasulullah saw dan keterangan paraulama.
Nabi Khidir as adalah salah seorang yang berilmu tinggi dan mendalam, serta mampu menerawang masa depan dengan ilmunya. Ia mengenalkan ilmu rahasia yang didapatkan langsung dari Allah atau lazim disebut dengan Ilmu Laduni.
Lantaran tinggi dan dalamnya ilmu Nabi Khidir ini, sampai sampai Nabi Musa as pun merasa perlu untuk berguru dan menimba ilmu kepadanya. Setelah berupaya keras dan atas petunjuk Allah Taala, Nabi Musa as pun bergegas coba mencari dan menemui nabi yang misterius ini. Dalam perjalanannya, Nabi Musa as tidak sendiri. Ia ditemani oleh murid sekaligus sahabat dekatnya yang bernama Yusya bin Nun.
Walhasil, upaya sungguh sungguh Nabi Musa as tersebut membuahkan hasil. Ketika mereka bertemu dengan Nabi Khidir as di antara dua lautan, Nabi Khidir as segera mengajukan syarat dalam rupa perjanjian.
Nabi Khidir as dengan kewaskitaannya tentu sudah tahu bahwa Nabi Musa bakal tidak akan mampu memenuhi persyaratannya, yakni sabar dan diam alias tidak protes dengan apa pun yang dilakukan Nabi Khidir as.
Kecelik
Demikian, seorang santri tidak mudah untuk menjumpai guru yang sempurna. Apalagi bila ditampakkan aib dari Sang Guru yang harus ditutupinya. Dan, berkeyakinan gurunya adalah yang terbaik di antara guru guru yang lain. Tidak mudah! Apalagi bila di bangku bangku sekolah dan kuliah di perguruan tinggi saat ini yang telah dan mulai diterapkan “metode kritis”. Salah salah, sang murid tidak akan menjumpai sesosok guru yang ideal. Tentu, keraguan demi keraguan akan datang menerpa pikiran “benar tidaknya” Sang Guru untuk diteladani. Dalam beberapa cerita, banyak dari kalangan santri gagal menemui Nabi Khidir as karena sering “kecelik”. Nabi Khidir as sering bersalin rupa sehingga mengganggu pandangan batin yang telah ditutupi oleh prasangka prasangka pikiran. Jangankan pikiran, merasa sok kenal dan sok akrab kepada Allah pun ada banyak orang yang kecele. Semua kemudahan dan kenikmatan yang diberikan oleh Allah Taala dianggap karena ia merasa dekat atau doanya mudah terijabah dan terkabul. Sehingga membuka kesan orang lain boleh datang kepadanya untuk meminta keberkahan dan kemudahan. Dan, merasa dirinyalah yang paling dekat kepada Allah Taala.
Hal ini pernah pula dikisahkan. Ketika sudah berada di akhirat kelak, ada banyak orang yang kecele ketika ditemui oleh Allah Azza wa Jalla. Mereka kecelik, benarkah Allah yang mereka persepsikan selama ini? Mengapa tidak sama?
Kisah Nabi Khidir as dan Nabi Musa as ini telah mengajarkan untuk berhati hati di dalam menilai segala sesuatu karena tidak mustahil akan terjadi salah persepsi. Oleh karena itu, berhati hatilah dengan rahasia Allah! Bisa jadi, seorang guru yang dihadirkan kepada seorang murid, buruk dari segi penampilannya, tapi memiliki harta tak ternilai yang sengaja ditutupi dari pandangan oleh Allah Taala. Dan, keyakinan bisa saja tertutup atau terhijab dari “kebenaran Allah” yang sudah di depan mata seperti yang dialami sendiri oleh Iblis. (Bersambung).