Dalam sebuah mimpinya, seorang waliyullah bernama Al Nafari mendapat Firman dari Allah:
وعزتى وجلالى، ما أنا عين ما عرفه وأما أنا عين ما جهله
Arti bebasnya, “Aku tidak seperti yang kau pahami, Aku seperti yang tidak kau pahami.”
Firman Allah yang non-Qurani ini seolah menguatkan doktrin sebagian ulama sufi bahwa tidak ada seorang pun yang bisa memahami Allah kecuali Dia sendiri لا يعرف الله إلا الله. Doktrin ini memang tampak hebat dan keren tetapi problematis. Sebab, dengan demikian, Allah menjadi sama sekali tak terpahami. Pertanyaannya adalah untuk apa keberadaan Tuhan jika tak bisa dipahami oleh hamba-Nya?
Karena itu, lalu muncul doktrin kedua yang mengatakan bahwa Allah bisa dipahami oleh manusia. Ini sesuai dengan tujuan penciptaan makhluk, yaitu untuk mengenal Sang Maha Segala. Andai saja Allah tetap sendiri, maka selamanya Dia menjadi كنزا مخفيا ; Harta Kekayaan yang Tersembunyi.
Jadi, dalam doktrin kedua ini, Allah bukan saja bisa dipahami, bahkan keberadaannya wajib diketahui. Sudah barang tentu wajib di sini bermakna subjektif dan relatif. Bukan mutlak yang serba tetap atau permanen.
Sejauh yang saya tahu, dalam Al Quran sendiri tidak ada definisi tentang siapa Allah itu secara eksplisit atau tegas. Allah lebih senang menyatakan bahwa diri-Nya itu Maha Dekat (Qarib) dan menjamin akan mengabulkan setiap doa dan harapan hamba-hamba-Nya selama mereka mau meminta. Tentu saja, doa tersebut harus memenuhi syarat di antaranya harus diawali dengan pujian kepada Allah, sholawat kepada Rasulullah saw, dan diakhiri dengan sholawat lagi dan juga tidak boleh mendikte Allah swt.
Tentang larangan mendikte Allah ini memang ada hadis Qudsi-Nya.
عبدى اطعنى فيما أمرتك ولا تعلمنى بما يصلحك
“Wahai hamba-Ku, taatlah kepada-Ku dan janganlah kau mendikte Aku apa yang baik untukmu.”
Tentang berdoa ini juga, ada unsur problematisnya. Ada seorang ulama sufi yang tidak mau berdoa seumur hidupnya lantaran malu kepada Allah. Bukankah Allah sudah terlalu baik dengan kita? Namun, jika seorang hamba tidak mau berdoa, maka ia dikhawatirkan akan dicap sombong oleh Allah. Lalu, bagaimana? Saran saya, tetaplah berdoa demi mengamalkan ayat suci, tetapi jangan coba coba mendikte Allah swt. Itu namanya “su’ul adab”, kurang tahu sopan santun kepada Allah.
Bagaimana Mendekati Allah?
Mendekati Allah memang gampang gampang susah. Sebab, kita tidak pernah tahu Wujud-Nya seperti apa. Tentu saja, selaku hamba-Nya, kita ingin bisa melihat Wajah-Nya selama hidup di dunia ini, dan bukan di akhirat saja. Tapi, Tuhan memang “jual mahal” kepada kita. Wajar, kita memang bukan nabi ataupun wali seperti Al Nafari. Lagi pula, andaikan Allah tampakkan Zat-Nya mungkin kita juga tidak kuat sebagaimana Nabi Musa as yang jatuh pingsan sebelum melihat-Nya di bukit Tursina.
Dengan demikian, pilihan terbaik adalah terus berusaha memahami Allah agar menjadi benar benar dekat dengan-Nya, dan bukan merasa sok dekat dengan-Nya.
Tentang memahami Allah ini, patut diberi catatan tersendiri. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad saw melarang kita berpikir tentang Zat Allah dan beliau menyuruh kita hanya sebatas memikirkan atau tafakur tentang makhluk ciptaan-Nya saja. Hal ini dikarenakan akal kita yang terbatas takkan mampu menalar Yang Maha Tak Terbatas. Karena itu, memahami Allah di sini hanya agar kita tidak gagal paham siapa Dia sebenarnya.
Saya pribadi “mendefinisikan” Allah itu adalah Allah. Dia bukan persepsi kita tentang-Nya, bukan tafsir kita tentang-Nya, bukan ilmu kita tentang-Nya. Apalagi khayalan kita tentang-Nya. Allah adalah Allah, titik! Selebihnya, hanyalah tafsir dan persepsi kita yang relatif dan subjektif tentang Diri-Nya.
Tafsir dan persepsi kita ini pun harus kita kritisi setiap saat lantaran kita bisa jatuh ke dalam syirik, setidaknya syirik khafi (samar samar).
Dalam Al Quran, dengan tegas Allah menyatakan “,ليس كمثله شئ”. Tidak ada yang semisal dengan Allah. Kata Sayidina Ali, “Setiap ada lintasan pikiran di hatimu tentang Allah, pada saat yang sama Dia terlepas dari pikiranmu tersebut.”
Rasulullah saw bersabda: كلكم فى ذات الله حمقا. Tentang Zat Allah kita semua bodoh. Dengan rendah hati, beliau berucap, سبحانك ماعرفناك حقا معرفتك. Maha Suci Engkau, aku tidak tahu siapa Engkau yang sesungguhnya.
Rasulullah saw sebenarnya ingin mengajari kita untuk bersikap hati hati ketika kita “membahas” tentang Zat Allah. Bukan berarti beliau tidak kenal Allah. Sebab, kalau beliau saja tidak kenal hakikat Allah, bagaimana dengan umatnya yang sekarang jumlahnya lebih dari satu setengah miliar? Wallaahu A’lamu bisshawaab.
Al Faqir waljaahil,
Akhikum Dzulmanni Al Banjari