Ketoprak adalah jenis seni-drama yang hidup di wilayah Mataraman, selain Ludruk yang berkembang di wilayah Jawa Timur (Jombang sampai Surabaya). Yang membedakan kedua seni-drama ini adalah Ketoprak berkembang dari istana hingga ke masyarakat (populis), sementara Ludruk terlahir dari kehidupan sehari hari masyarakat. Pada akhirnya, sejalan dengan kekuasaan Mataram yang mendominasi di Jawa Tengah dan bagian selatan Jawa Timur, Ketoprak berkembang dengan pakem pakem (aturan baku) sementara Ludruk tidak memiliki pakem pakem tetap.
Berikut adalah tulisan singkat Iskak Wijaya dari akun FB miliknya; seorang penggiat seni-budaya asal Salatiga yang kini tinggal di Jepara. (Redaksi).
Ketoprak Gaya Jepara
Rabu malam, 8/6/2022. Sebuah pertemuan mendadak digelar di Warung Mas Jenggo, Jinggotan, Kecamatan Bangsri, Jepara. Undangan dari Pak Hadi Priyanto via WA itu ditujukan pada anggota KORPRI serta sejumlah pegiat budaya yang memiliki minat terhadap seni tradisional ketoprak.
Yang dibahas adalah rencana pementasan ketoprak untuk memecahkan rekor MURI di tahun 2022 dengan jumlah pemain 250 orang. Untuk itu diperlukan pemain di angka 300 orang. Dengan berbagai argumen, khususnya terkait waktu, rencana atau target inipun sepakat untuk tidak dilakukan. Yang jelas adalah pemain ketoprak dari KORPRI yang terdiri dari ASN, perangkat desa, pensiunan ASN, dan tenaga P3K. Nantinya, di lapangan dibantu dengan paguyuban dan komunitas lain.
Secara maraton pembahasan pun digelar. 16 Juni di ruang Dinas Kominfo, 26 Juni di rumah Pak Hadi di Desa Bondo, dan seterusnya, sembari penyusunan naskah ketoprak dengan berbasis sumber atau referensi sejarah, bukan sekadar kisah mitos maupun legenda. Mengingat waktu yang sangat mendesak, dimulailah latihan yang juga melibatkan FORKOPIMDA sebagai pemain.
Beberapa hal kiranya perlu disampaikan:
Pertama, sejak dari semula, dalam pembahasan dengan para sesepuh dan senior pemain ketoprak, telah disepakati dan disetujui –dan hal ini sangat fundamental– bahwa ketoprak yang akan ditampilkan merupakan ketoprak dengan gaya atau ciri khas Jepara. Apa gaya atau ciri khas ketoprak Jepara itu? Di bawah akan saya perjelas.
Kedua, dimungkinkan unsur pemain di luar KORPRI. Mengingat, beberapa adegan seperti perkelahian, pencak, pertempuran, dan semacamnya memang harus diserahkan ke ahlinya.
Ketiga, disepakati bahwa seluruh pemain berasal atau berstatus sebagai warga Jepara. Artinya, tidak ada pemain dari luar Jepara atau menyewa pemain dari luar Jepara. Hal ini dimaksudkan untuk mengangkat seluruh potensi serta sumber daya seniman-budayawan dari Jepara. Apapun hasilnya, bagaimanapun risikonya.
Keempat, sumber referensi utama kisah Rainha de Japora atau Sri Ratu Kalinyamat diupayakan dari sumber dan rujukan sejarah, bukan kisah yang hanya berbasis dari mitos/ legenda. Salah satu sumber penulisan naskah adalah buku “Hasil Penelitian Empiris Ratu Kalinyamat; Perempuan Perintis Antikolonialisme 1549-1579” yang diterbitkan oleh Yayasan Dharma Bakti Lestari (2021).
Akhirnya, melalui persiapan dalam tempo sesingkat singkatnya, pada Sabtu malam 20 Agustus 2022, digelarlah KETOPRAK RAINHA DE JAPORA atau Ketoprak Sri Ratu Kalinyamat di panggung alun-alun I Jepara. Dengan cara seksama dan upaya maksimal, muncullah gaya baru sebuah pementasan ketoprak.
Lantas, apa yang menjadi gaya dan ciri khas dari ketoprak Jepara ini?
Pertama, kisah atau cerita ketoprak Jepara ini mengambil sumber asli tentang perjalanan Sang Retna Kencana atau Ratu Kalinyamat, yang merupakan cerita absolut milik Jepara. Terutama terkait dengan sejarah perjalanan spiritual Kanjeng Ratu hingga penyerbuan prajurit armada laut Jepara ke Malaka dan Ambon.
Kedua, adegan pertama dalam ketoprak diawali dengan tari “Bedayan Retna Kencana”. Khusus untuk adegan ini, perlu untuk disampaikan, bahwa ide tari Bedayan Retna Kencana telah muncul sebelum tragedi Covid-19. Tari bedayan ini diciptakan oleh 5 (lima) guru tari terbaik di Jepara, yaitu: Ibu Aris Setiasih, Bapak Kaolan, Ibu Dwi Rumei, Ibu Any Sulasmi, dan Ibu Yulia Seksiowati. Pada penampilan ketoprak inilah, nama Bedayan Retna Kencana ditetapkan. Melalui 21 penari pilihan, di dalamnya digambarkan tentang karakter dan perjalanan Dyah Retna Kencana: keteguhan, kecerdasan, keberanian, komitmen perlawanan terhadap penjajah, serta dedikasi sebagai pemimpin. Adegan tari ini menjadi ciri utama dan pertama ketoprak Ratu Kalinyamat.
Ketiga, jika di ketoprak ketoprak lain tidak ada narator secara khusus, pada ketoprak khas Jepara ini dimunculkan narator (dalang) yang menyampaikan pocapan/narasi, dengan menambahkan latar belakang peristiwa atau kejadian pada sebuah momentum adegan. Fungsi narator salah satunya memperjelas situasi pada adegan tertentu.
Keempat, penampilan Dyah Retna Kencana dalam pertapaannya di Gunung Donorojo distilisasi dan disimbolisasi dalam tarian teatrikal, dengan dikelilingi para penari berselendang putih, sebagai lelaku penyucian diri serta kepasarahan total kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal ini menjadi pembelajaran simbolis, bahwa Putri Retna Kencana bukan melakukan bertapa secara fisik telanjang, melainkan meletakkan dan mengembalikan keris (kekuasaan), maupun mengurai rambut (hal materi dan duniawi), untuk dilepas dan dipasrahkan kepada Yang Maha Adil. Spirit ini bukanlah melambangkan dendam kesumat, namun sebaliknya meneguhkan keyakinan penuh spiritual atas seluruh totalitas kehidupannya.
Kelima, ditampilkannya 2 (dua) jenis tarian di dalam cerita, yaitu paduan tari nelayan, ukir, dan petani, serta tari asli Jepara yaitu Tari Rondek. Tari pertama menunjukkan bahwa potensi Jepara yang terdiri dari alam lautan, daratan, dan pegunungan diwakili oleh ketiga unsur tari tersebut. Tari kedua merupakan tari yang memadukan gerak reog, jaranan, tayub, dan gaya tari keprajuritan. Diperagakan untuk memberi semangat para prajurit sebelum berangkat perang.
Keenam, ditampilkannya para duta dari Johor, Perak, Pahang, Beruas serta dari Aceh dan Hitu (Ambon) menjadi pembelajaran serta pembuktian historis tentang peristiwa di Abad ke-16 itu.
Ketujuh, ditampilkannya 2 (dua) orang sejarahwan dan penulis dari Portugis, yaitu Tom Pires dan Diogo de Couto, yang keduanya menulis tentang peristiwa jatuhnya Malaka serta serangan pasukan Jepara di Malaka. Adegan ini untuk menguatkan bahwa peristiwa penyerangan ke Malaka merupakan kisah sejarah yang otentik dan obyektif.
Kedelapan, ditampilkannya adegan Kapten Fernão Pires de Andrade beserta para komandan dan panglimanya, juga untuk mendukung keutuhan sejarah dalam versi ketoprak ini.
Kesembilan, adegan pertempuran 80 orang prajurit, antara laskar Ratu Kalinyamat yang bergabung dengan prajurit Jepara beserta pasukan Malaka melawan tentara Portugis, ditambah dengan naiknya 3 (tiga) kapal besar di atas panggung, merupakan persembahan yang estetis dan spektakuler guna mendukung kejadian perang besar di Malaka dan Ambon.
Kesepuluh, tampilnya penembang macapat, yang mengisahkan adegan pertapaan serta peperangan, juga menjadi ciri dari gaya ketoprak Jepara ini. Tembang ini dimaksudkan untuk mengisahkan sebuah adegan berdasar dari catatan susatra asli Jawa, yang dibawakan secara khusus oleh penembang terpilih.
Kesebelas, di bagian awal pementasan, saat Sultan Hadirin dan Dyah Retna Kencana dikejar oleh pasukan Penangsang, para prajurit soreng menampilkan gaya teatrikal dengan tarian khusus para sorengpati itu. Demikian juga para pasukan pengawal Sultan Hadirin, disajikan dalam bentuk olah tarian perang. Kedua gaya ini menjadi ragam estetis dalam penampilan ketoprak Jepara.
Demikian beberapa ciri khas Ketoprak Rainha de Japora atau Ketoprak Sri Ratu Kalinyamat sebagai ketoprak gaya Jepara.
Ketoprak, Sebuah Ulasan Singkat
Adalah wajar, bahkan seharusnya, sebuah pementasan mengikuti jiwa zaman (zeitgeist) dan konstekstual pada situasi-kondisi di sebuah periode tertentu. Dalam sejarahnya, di masa akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ketoprak hanyalah permainan gadis desa saat bulan purnama yang diiringi dengan irama lesung.
Ketika KRMTH Wreksadiningrat dari Keraton Surakarta membawa masuk seni ketoprak ini ke dalam istana, maka ada penambahan iringan gamelan dan lakon. Dimulailah cerita cerita yang dibawakan oleh para pemeran/paraga tentang dongeng kepahlawan ksatria serta bangsawan.
Periode selanjutnya dilanjut oleh Wreksatama, mantan anggota ketoprak Wreksadiningrat, yang menambahkan alat iringan musik seperti saron, rebab, kenong, kempul, dan gong. Diduga di masa inilah (tahun 1925) unsur musik kenthongan dilibatkan.
Pada era tahun 1927, Ki Jagat Trunarsa membuat ketoprak lebih populer dengan mementaskannya di panggung panggung tradisional dan keliling (ketoprak tobong) menyebar di luar Surakarta. Hingga kemudian muncullah Ketoprak Gardanela di Jogjakarta dengan iringan gamelan, serta gaya Ketoprak Mataram dan Ketoprak Modern.
Tentunya dalam pementasan kemarin masih banyak kekurangan dan kesalahan. Dalam situasi pentas yang agak terlambat (terlalu malam), akhirnya ada yang kurang, ada yang berlebih. Ada yang terlalu lambat, ada yang lebih cepat. Ada yang mestinya di depan, ada yang seharusnya di belakang. Dan lain-lain, dan seterusnya.
Untuk itu kami mohon maaf atas semua kekurangan ini. Inilah permulaan, sebuah awal yang akan berterus menerus dikoreksi, diperbaiki, direvisi, dan dikembangkan. Salam jihad seni-budaya. Allah SWT, Tuhan Yang Maha Indah dan Mencintai Keindahan, merahmati dan memberkahi kita semua. Amin.
Jihad Seni-Budaya
Sumber foto: FB Eni Heriwati, FB Yulia Seksiowati, FB Ferry Priantomy Irawan, FB Danang Ario Baskoro, FB Andang Sugiarto, FB dan dokumen foto Kanal Budiarto.