Sering-sering, ayat-ayat suci Al Quran tidak secara detil menyebutkan waktu dan tempat suatu peristiwa kejadian, meskipun yang menjadi objek peristiwa tersebut adalah sejarah.
Namun, Al Quran dibahasakan dengan cara susastra sebagai kitab mukjizat. Dengan bahasa susastra itu, kemukjizatan Al Quran dapat meluluhkan hati seorang Umar bin Al Khattab yang keras. Dan, tujuan dari kemukjizatan susastra tersebut merupakan esensi dari sebuah peristiwa, bukan pada ikatan waktu dan tempatnya.
Oleh karena itu, paraulama terus berijtihad dan sudah menjadi tugas mereka sebagai pewaris Nabi untuk menempatkan makna-makna esensi Al Quran ke dalam ikatan waktu dan tempat yang suatu saat bisa dicabut lagi.
Qibti Bukan Golongan Firaun
Dikisahkan, setelah Nabi Musa As sudah beranjak dewasa, ia menemukan dua orang pemuda yang sedang berselisih.
وَدَخَلَ الْمَدِيْنَةَ عَلٰى حِيْنِ غَفْلَةٍ مِّنْ اَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيْهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلٰنِۖ هٰذَا مِنْ شِيْعَتِهٖ وَهٰذَا مِنْ عَدُوِّهٖۚ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِيْ مِنْ شِيْعَتِهٖ عَلَى الَّذِيْ مِنْ عَدُوِّهٖ ۙفَوَكَزَهٗ مُوْسٰى فَقَضٰى عَلَيْهِۖ قَالَ هٰذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِيْنٌ
Dan (Musa) masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka dia mendapati di dalam kota itu dua orang laki-laki sedang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan yang seorang (lagi) dari pihak musuhnya (dari kalangan Firaun). Orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk (mengalahkan) orang yang dari pihak musuhnya, lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. (Musa) berkata, “Ini adalah perbuatan setan. Sungguh, dia (setan itu) adalah musuh yang jelas menyesatkan.”

Paraulama tafsir memberi makna konotasi dari kata “Al Madinah’ pada ayat tersebut adalah Memphis. Sebuah kota pelabuhan yang ramai di hilir sungai Nil. Paraarkeolog memperkirakan fondasi dari struktur bangunan kuno yang telah ditemukan sekita berusia pada 2200 tahun sebelum Masehi. Paraulama memperkirakan kota Memphis adalah ibukota kerajaan Firaun pada masa Nabi Musa As. Paraulama memperkirakan kalau Kota Memphis adalah juga Kota Ainus Syams. Memphis sekarang menjadi nama salah satu kota di Baratdaya Amerika Serikat.
Nabi Musa As dikisahkan berjalan-jalan di Kota Memphis ketika penduduknya sedang beristirahat siang. Tiba-tiba, ia menemukan dua orang laki-laki yang sedang berkelahi. Seorang berasal dari suku-bangsa Israel (anak keturunan Nabi Yakub As). Israel adalah nama lain dari Nabi Yakub As. Sementara seorang lagi adalah musuhnya (lawan berseteru). Kata musuh ini tidak disebut jelas dalam Al Quran, siapakah dia? Namun, sebagian ulama menafsirkan dengan gamblang, dia adalah golongan Firaun dari suku-bangsa Qibti. Penduduk asli negeri Mesir.
Lalu, siapakah suku-bangsa Qibti tersebut? Jika merujuk kepada sejarah, Mesir telah menjadi pusat kebudayaan sejak masa Nabi Nuh As. Mungkin, bisa lebih lama lagi. Namun, disebutkan: wilayah Timur Laut Mesir adalah Tanah Kanaan yang meliputi Yordania, Israel, dan Palestina sekarang. Kanaan adalah salah satu cucu Nabi Nuh As dari salah satu puteranya, Ham. Namun, sebagian lagi menafsirkan jika Kanaan (Kan’an) adalah salah satu putera Nabi Nuh As yang tenggelam. Tanah Kanaan ini yang disebutkan di dalam Alkitab sebagai hadiah bagi suku-bangsa Israel dari Allah Taala selepas mereka dari kejaran Firaun yang dibimbing Nabi Musa As.
Negeri Mesir yang subur, terletak di dataran rendah sungai Nil tersebut, telah menarik minat suku-suku-bangsa lain untuk menguasainya. Di antara suku-suku-bangsa tersebut adalah Akkadia (Asyur) dari Babilonia, Fenisia dari Syria, Nubia dari Sudan, dan Ptolemy dari Yunani. Ptolemy ini yang sering disebut oleh parasejarawan sebagai Firaun dalam Al Quran.
Lalu, siapakah suku-bangsa Qibti tersebut? Suku-bangsa Qibti bisa merujuk kepada salah satu suku-bangsa yang pernah menduduki Mesir atau justeru campuran (indo). Tapi, jelas, bukan dari suku-bangsa Israel. Mereka adalah penduduk mayoritas yang turut menyebarkan Kekristenan pada Abad ke-1 Masehi, bahkan menjadi mayoritas sebelum Islam datang. Mereka mendirikan gereja dan membangun aliran, sekte, atau ordo tersendiri di Kota Iskandariah yang dikenal dengan sebutan Kristen Ortodoks. Kota Iskandariah menjadi pusat Kristen Ortodoks dan memiliki gereja tertua di Timur Tengah. Karena sering mengalami perselisihan paham dengan ordo, sekte, atau aliran lain Kekristenan, maka mereka sering pula mengalami siksaan-siksaan dan pembunuhan. Begitu pula dari kalangan Yahudi (suku-bangsa Yehuda, salah satu putera Nabi Yakub As atau saudara Nabi Yusuf As) yang membenci mereka. Qibti atau ditulis juga dengan “Kubti” dan lebih populer “Koptik” adalah salah satu pemeluk dari aliran, sekte, atau ordo dari Kristen Ortodoks. Kristen Ortodoks ada banyak macamnya. Mereka Namun, Kristen Ortodoks Koptik-karena sering mengalami penindasan-banyak yang melakukan hijrah ke Amerika. Maka, tidak heran, jika kemudian terdapat Kota Memphis dan pemeluk Kristen Ortodoks Koptik di Amerika.
Dengan demikian, Al Quran tidak dengan jelas menyebutkan lawan (musuh) lelaki yang bertikai dengan lelaki dari suku-bangsa Israel yang dibela oleh Nabi Musa As. Jika paraulama menafsirkan-musuh itu dari suku-bangsa Qibti-yang berpihak kepada Firaun, maka dia adalah suku-bangsa Qibti yang mendukung Firaun secara politis atau justru dari kalangan penyihir-penyihir Firaun. Sebab, Firaun sendiri oleh sebagian sejarawan sering ditafsirkan sebagai Ptolemy yang bersuku-bangsa Yunani.
Sebutan Bumi Milik Allah
Nabi Musa As dianugerahi Allah Taala dengan kekuatan fisik yang melebihi orang-orang kebanyakan. Setelah lelaki dari suku-bangsa Israel tersebut kalah dari musuhnya dan meminta pertolongan kepada Nabi Musa As, maka sekali pukul lelaki musuh itupun mati seketika. Sehingga pada ayat 16 dan 17 berikutnya dari surat Al Qashash disebutkan Nabi Musa As bertobat dan meminta ampun kepada Allah Taala.
قَالَ رَبِّ اِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَغَفَرَ لَهٗ ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
(Musa) berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku.” Maka (Allah) mengampuninya. Sungguh, Allah, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.
قَالَ رَبِّ بِمَآ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ اَكُوْنَ ظَهِيْرًا لِّلْمُجْرِمِيْنَ
(Musa) berdoa lagi, “Ya Tuhanku! Demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, maka aku tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.”
Kisah perseteruan atau perkelahian antara dua lelaki tersebut, pria dari suku-bangsa Israel dan musuhnya, diawali dari perebutan air dari sebuah sumur. Ada yang menyebutkan karena berselisih batas tanah. Wallahu a’lam. Namun yang jelas, latar belakang dari kisah tersebut adalah karena perebutan hak milik. Secara umum, makna tersebut menggambarkan: setiap orang akan memiliki hak milik, bahkan hingga bersengketa. Mereka akan mempertahankan hak milik tersebut dengan mati-matian (mengorbankan nyawa). Baik hak milik itu berupa keyakinan, harga diri (nasab dan keturunan), atau berupa benda seperti anak, istri, rumah, pekarangan, atau sumber mataair yang bisa diterjemahkan dengan tanah air.
Artinya, Allah Taala memberi wewenang kepada manusia untuk menyatakan hak milik mereka, meskipun kenyataannya hak milik tersebut hakikatnya milikNya semata.
Mengabaikan hak-hak milik secara manusiawi yang telah dipinjamkan Allah Taala kepada setiap manusia sering dilakukan oleh kalangan penganut Tauhid. Mereka berkata: bumi ini milik Allah, maka tidak perlu cinta tanah air. Cinta tanah air sering dipandang musyrik dan kafir karena hakikatnya milik Allah. Padahal, Nabi Muhammad Saw beserta paraulama telah memerinci tentang aturan-aturan hak milik ini agar tidak menimbulkan perselisihan di antara sesama umat manusia yang akan berujung pada pertumpahan darah. Tidak sedikit, orang yang berselisih karena hak waris tanah atau yang lebih besar berselisih batas negara, aset, dan tanah air.
Memang, pemahaman “bumi adalah milik Allah” tanpa terperinci akan menimbulkan pemahaman sama seperti yang dilakukan oleh kalangan penganut komunisme: semua hak milik adalah kepunyaan negara. Sama pula seperti Firaun yang mengklaim: semua hak milik adalah kepunyaan dirinya.
Cirebon, 20 Mei 2022.