Daun-daun Ketapang nan rindang itu meneduhi pelataran masjid Kasepuhan Pesantren Tebuireng. Tak sehelaipun yang gugur dan mengotori halaman. Tampak bersih, setelah disapu oleh Somaghodin, pagi dan sore hari. Seorang lelaki beranjak sepuh yang sudah membaktikan diri menjadi abdi dalem sejak masa Pak Ud (KHM Yusuf Hasyim) menjadi pengasuh.
Kerindangan itu tidak cuma dirasa oleh jama’ah sholat Dhuhur yang ramai. Namun, juga terpancar dari wajah cerah Gus Sholah.
Menjemput Anugerah
Gus Sholah atau KH Salahuddin Wahid (1942-2020) memang dikenal sejuk dan tenang. Kritis, tapi tidak provokatif. Sering membuat letupan-letupan halus yang membuat lawan bicara lambat tertawa. Mungkin, maksudnya hanya untuk menertawakan diri sendiri.
Ada banyak tawaran untuknya posisi-posisi strategis di pemerintahan. Mulai dari kursi Menteri Pendidikan, Ketua PBNU, dan terakhir Wantimpres. Namun, semua ditolak dengan halus untuk lebih fokus mengurusi pesantren.
Jika berbicara kewajiban, maka akan banyak kewajiban yang harus dipenuhi. Namun, jika berbicara anugerah, maka tinggal berapa anugerah yang dapat digapai dan disyukuri. Tidak ambisius. Demikian, kesan yang bisa didapat.
Kesederhanaan Gus Sholah sempat disaksikan sendiri oleh KH Moh Eko Priyanto. Santri Ponpes Madrasatul Quran (MQ Tebuireng) yang pernah mengawal Gus Sholah selama perjalanan di Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Perjalanan “blusukan” memasuki desa-desa untuk menyapa kiai-kiai kampung bersama istri tercintanya, Hj Farida Salahuddin Wahid. Kesederhanaan Gus Sholah tidak hanya disaksikan oleh satu dua orang saja, melainkan banyak kesaksian. Dia tidak pernah pilah-pilih. Bahkan, beli pulsa sendiri di konter HP yang sempat dipergoki oleh Cak Nas (Haji Nasrul Ilah), adik Cak Nun (Emha Ainun Nadjib).
Seperti namanya, Gus Sholah seperti Sultan Salahuddin Al Ayyubi memperlakukan lawan-lawan politiknya dengan santun. Jika Sultan Salahuddin tidak mau berperang ketika lawannya, Raja Richard the Lion Heart, sedang sakit, maka Gus Sholah masih menerima lawan seterunya dengan baik. Bak perang mesti ada panggungnya sendiri. Tidak di kala lawan sedang lengah atau menderita.
Duduk di Singgasana Hadratussyekh
Gus Sholah memang tidak menduduki posisi penting sebagai ketua MPR, DPR, PBNU, atau Presiden seperti kakaknya, Gus Dur. Posisi puncak justeru diembannya manakala keluarga besar menunjuk dirinya secara aklamasi sebagai Pengasuh Pesantren Tebuireng.
Dan, justeru, sebagai pimpinan puncak Pesantren Tebuireng itu telah mengembalikan kesadaran sesungguhnya: ia sedang duduk di singgasana Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari. Dapat dibayangkan, bagaimana Indonesia dulu dikendalikan oleh Hadratussyekh dari Tebuireng? Desa yang jauh dari ibukota negara.
Ada kesaksian KH Moh Eko Priyanto manakala usai Muktamar NU ke-32 di Makassar yang diucapkan oleh Gus Sholah. ‘Biarlah, kita sudah berbuat maksimal dan Allah Taala berkehendak lain. Jarak kamar saya dan jalan raya lebih jauh daripada kuburan keluarga,” katanya dengan kalimat superlatif.
Ketika ditanya kesan Gus Sholah terhadap kakaknya, ia berkata, “Gus Dur itu sejak saya kecil hingga saat ini tidak pernah mengeluh sedikitpun.”
Wajah Pesantren Tebuireng tidak banyak berubah. Bangunan dengan arsitektur Belanda itu masih tampak. Kendati Gus Sholah seorang arsitek jempolan, namun ia tidak menghilangkan kesan keantikan sebagai pesantren kasepuhan. Memang ada bangunan-bangunan baru, namun di luar konstruksi yang dianggap memiliki kesan saksi dan bukti sejarah.

Kekhawatiran Gus Sholah terhadap pesantren memang besar. Ia menilai pesantren adalah aset yang besar bagi bangsa Indonesia. Dan, tidak hanya dari segi fisik bangunan saja yang dibangun olehnya. Ia juga membentuk beberapa lembaga kajian, penerbitan buku, produksi film, bahkan organisasi alumni Pesantren Tebuireng. Kekhawatiran itu dinilai wajar, karena sedikit sekali alumni-alumni Pesantren Tebuireng yang menonjol, menjadi Ketua Tanfidziyah PCNU misalnya. Hampir tidak ada. Ada satu dua orang, tapi tidak terlalu signifikan. Rata-rata justeru banyak yang berada di birokrasi. Sebagai sosok yang pernah dibesarkan oleh organisasi, Gus Sholah memberi dorongan untuk membangunkan alumni-alumni Pesantren Tebuireng yang masih terlelap tidur.
Cirebon, 20 Mei 2022.