Parasejarawan sering berkata, jika sejarah dapat terulang. Kemudian, mereka menyebut teori sirkel sejarah yang berputar seperti sebuah roda pedati. Bagi KH Mustofa Acep, ajengan Bekasi, kemunculan Vladimir Putin yang telah menarik perhatian dan membuat gelisah dunia itu bukan sesuatu yang aneh.
KH Mustofa Acep, ahli tafsir yang kini menjadi bagian penting dari tim peneliti di Lajnah Pentashih Al Quran, beranggapan: hal tersebut tidak bisa serta merta dikaitkan dengan ayat 1 sampai 5 surat Al Rum dalam Al Quran. Ada kekeliruan tafsir. Putin bukan dalam konteks yang disebutkan di dalam Al Quran.
Banyak penulisan tafsir dan sejarah yang keliru, dan kekeliruan itu terus berlangsung. Berangkat alias musalsal. Ada banyak fakta-fakta yang ditulis pada zamannya dari sebuah teks kuno misalnya, tapi tidak sedikit yang berbeda pada fakta-fakta hidup yang juga ada. Ini yang dimaksud dengan kekeliruan penulisan. Bahasa Al Quran itu sangat simpel, tidak detil. Untuk sebuah epos misalnya lagi, bahasa Al Quran tidak serumit seperti yang ada di kitab-kitab purana umat Hindu. Begitu pula, pada Tanakh (kitab umat Yahudi) dan Injil (kitab umat Kristiani). Antara Purana dan Tanakh itu ada segi-segi kemiripan gaya penulisan. Begitu pula Injil. Sama ditulis oleh mufasir-mufasir umat Islam yang menulis kitab berjilid-jilid. Sementara Al Quran hanya 30 juz dan ayat-ayatnya bisa dibilang 6000 ayat lebih.
Menurut KH Mustofa Acep, alumni MQ Tebuireng ini, tafsir dan sejarah itu biarlah berjalan sendiri-sendiri. Tidak bisa diakomodasikan ke dalam satu topik penafsiran. Antara kitab suci dan kitab-kitab tafsir biarlah berjalan sendiri-sendiri. Adapun sekarang antara kitab suci dan tafsir itu sering tumplek blek. Nyaris tidak bisa dibedakan, yang mana ujaran kitab suci dan yang mana ujaran tafsir.
Untuk kasus Putin, biarlah Putin berbicara atas nama sejarahnya sendiri. Adapun keterlibatan umat Islam atau Islam itu sendiri memiliki independensi sejarahnya sendiri. Tidak bisa kemudian umat Islam memberi penafsiran kalau Putin merupakan tanda-tanda kemenangan umat Islam. Tidak bisa begitu. Umat Islam tidak bisa digiring kepada alam mimpi tanda-tanda akhir zaman. Akhir zaman itu sudah berlangsung dan berjalan aktif sejak masa Rasulullah Saw 1443 tahun yang lalu. Dan, sebagai bagian dari sejarah, umat Islam seharusnya tinggal menjalani. Jika tidak?
Tafsir-tafsir akan berbicara ini dan itu. Dari manakah sumbernya? Bisa dari sumber-sumber referensi yang lain, di luar konteks umat Islam sendiri. Bisa pula dari kitab-kitab suci umat agama lain. Nah, hal ini akhirnya menimbulkan tumpang tindih. Ayat-ayat suci Al Quran ditafsirkan dengan ayat-ayat atau sumber-sumber referensi dari Injil, Tanakh, atau Purana umat Hindu. Cukup subtil. Oleh karena itu, biarlah sejarah berjalan dengan sendirinya. Tidak perlu ada intervensi Al Quran. Tegasnya, umat Islam jangan dibuai-buai oleh mimpi-mimpi tafsir.
Kan konkrit, di dalam Al Quran itu tidak ada ayat secara letterleijke menyebutkan kekristenan misalnya? Di dalam Al Quran disebutkan tentang kaum Nasrani, bukan Kristen. Jangan dikait-kaitkan antara Kristen dan Nasrani. Tidak nyambung! Nah, tugas sejarah untuk menjelaskan, bukan tugas tafsir.
Cirebon, 20 Mei 2022.