Imam Ibnu Jarir Al Thabari (839-923 Masehi) atau lengkapnya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Al Amali Al Thabari adalah seorang bersuku-bangsa Persia yang lahir di Amol atau Amuli.
Amol merupakan salah satu kota dan situs budaya tertua di Iran sekarang. Letak geografisnya berada di tepi sungai Haraz, 20 kilometer di sebelah Selatan Laut Kaspia dan kurang dari 10 kilometer di Utara Pegunungan Alborz. Posisinya saat ini berjarak 180 kilometer dari Kota Teheran dan 60 kilometer di sebelah Barat kota Sari. Amol menyimpan pengalaman sejarah yang panjang dengan basis budaya Amard sehingga menjadi tempat tujuan penggalian sejarah, ilmu dan pengetahuan, serta filsafat. Amol merupakan kota budaya di Provinsi Mazandaran (Iran), berkembang pula industri, transportasi, pertanian, serta penghasil susu dan daging.
Sesuai namanya, Amol berasal dari orang-orang suku-bangsa Amard (Median), salah satu suku-bangsa Persia yang mulai hadir pada akhir abad ke-2 hingga pertengahan abad ke-1 sebelum Masehi.
Dari kota legendaris ini, Imam Ibnu Jarir Al Thabari tumbuh menjadi sosok yang cerdas, bersemangat, bersih, dan beradab.
Dari beberapa sumber, Imam Ibnu Jarir Al Thabari digambarkan tidak memakan lemak dan daging sebelum
dibersihkan terlebih dahulu dari tulang dan lemak, serta dimasak dengan zabib (anggur atau buah tin yang telah dikeringkan/kismis). Ia tidak suka memakan kurma dianggapnya dapat merusak gigi. Susu kambing yang hendak diminumnya terlebih dahulu harus disaring. Iapun selalu menyediakan obat-obatan yang dikonsumsinya setelah makan.
Imam Ibnu Jarir Al Thabari tidur
dengan baju berlengan pendek, terbuat dari bahan halus dan diurapi dengan air mawar dan wewangian kayu gaharu.
Apabila sedang mengajar, Imam Ibnu Jarir Al Thabari hampir tidak terdengar mendeham dan meludah.
Dari segi berpakaian, Imam Ibnu Jarir Al Thabari sangat memperhatikan penampilan dan keindahan, sehingga selalu tampak bersih dan teratur.
Imam Ibnu Jarir Al Thabari terlahir dari kalangan orang-orang kaya. Ayahnya meniggalkan warisan kebun untuk membiayai kehidupannya. Tapi, ia dikenal sangat zahid, tidak suka berpoya-poya. Di samping, membujang sepanjang usianya.
Latar Kesejarahan, Basis yang Sulit
Semangat menukil dalam tradisi intelektual muslim sangat tinggi sehingga menghambat kemajuan. “Untuk pemula sih baik hal itu dilakukan, tidak ada salahnya,” ungkap Anwar Mustaqim, pengamat tafsir yang tinggal di Jakarta. “Tapi, harus sejak dini, pemahaman kesejarahan harus dipupuk. Paham kesejarahan umat Islam sangat minim. Sebab, menulis tafsir itu bisa terakhir. Pertama, kuasai dulu sejarah. Belum mendetail, setidaknya sejarah umum saja dulu,” lanjut lelaki yang biasa dipanggil Akim itu.
Baginya, metode belajar sarjana-sarjana muslim itu terkadang tidak bebas. “Tidak asyik,” katanya. Sebab, belum-belum sudah disodorkan pada tahayul-tahayul hukum. “Akibat keseringan menukil itu akhirnya, sarjana-sarjana muslim kita kadang tidak tahu kalau asal usul kata ” المسيح” umpamanya. Mereka tahunya itu bahasa Arab, menurut kamus yang mereka baca. Padahal, tidak bukan? Itu bahasa Yunani dari kata Mesiah. Artinya, orang yang terpilih. Ya, ini sudah masuk ke ranah detail, ya? Adapun kalau Al Quran kemudian mengadopsi kata bahasa Yunani itu, itu persoalan lain,” tandasnya.
Imam Ibnu Jarir Al Thabari adalah cendekiawan yang suka berkelana. Dari kelana itu, ia tidak saja menghayati sebuah perjalanan. Tapi, lebih jauh mengenal detail-detail sejarah. Mungkin juga mitologi-mitologi, dongeng-dongeng (Al Usthurah), bahkan cerita dari mulut ke mulut. Semua dicatat, lalu diverifikasi kebenarannya.
Imam Ibnu Jarir Al Thabari pernah singgah di Baghdad. Ia belajar Mazhab Al Syafi’i. Kemudian, Bashrah dan Kufah. Ia mendapatkan suasana asli dari pengalaman intelektual guru-gurunya.
Sebuah karya yang cukup dikenal oleh dunia, baik kalangan muslim maupun nonmuslim adalah تاريخ الرسل والملوك, Sejarah Rasul-rasul dan Raja-raja. Kitab ini dikenal juga dengan sebutan تاريخ الطبرى. “Itu ditulis sebelum Imam Ibnu Jarir Al Thabari menulis tafsir,” ungkap Akim. “Kitab itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebanyak 40 jilid. Kitab itu berisi sejarah dunia hingga tahun 915. Mutu dan keakuratan isinya tidak diragukan lagi oleh banyak kalangan, terutama dalam hal sejarah muslim dan suku-bangsa Arab. Lha, sarjana-sarjana kita sudah mengumpulkan berapa banyak buku sejarah?” tanyanya sembari tertawa, lalu menghirup kopinya.
“Nah,” lanjut Akim, “setelah nulis sejarah, baru Imam Ibnu Jarir Al Thabari nulis kitab tafsir. Dari model itu, kitab tafsirnya di kemudian hari menjadi referensi, rujukan, semisal Al Baghawi, Al Suyuthi, bahkan Ibnu Katsir,” tandas Akim, lagi. “Dan, dari olahan sejarah itu, Imam Ibnu Jarir Al Thabari tidak saja menulis dan mengulas, tapi juga mengkritisi. Di situ, dia bisa memberi sumbangan besar pada disiplin ilmu-ilmu lainnya seperti Al Jarh wa Al Ta’dil. Karena, sudah didukung oleh pengetahuan yang luas,” pungkas lelaki alumnus Akidah Filsafat yang pernah menimba ilmu di MQ Tebuireng dan penyuka warna pink itu dengan mengumbar senyum.
Cirebon, 21 Mei 2022.