Upaya regenerasi di lingkungan Pesantren Tebuireng menjadi perhatian besar. Hal ini sudah tertanam sejak masa Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari (1871-1946).
Dari mana melihatnya?
Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari bisa dikatakan termasuk tokoh yang “memecah” tradisi. Pecah bakoh, orang Jawa bilang. Atau, memecah rekor dalam istilah lain.
Pertama dan yang utama adalah dari segi kepemimpinan.
Tidak ada yang meragukan kepemimpinan Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari sebagai tokoh umat Islam, bahkan dunia. Namun, dari hal yang kecil, Hadratussyekh tidak ingin memonopoli kepemimpinan. Hal ini tampak dari tugas menjadi imam sholat rawatib (lima waktu). Tugas mengimami sholat rawatib di masjid Kasepuhan Pesantren Tebuireng tidak diambil alih sendiri. Melainkan, bergilir, baik oleh santri-santri senior maupun putera-putera sendiri. Di saat pesantren-pesantren lain masih mempertahankan pola kepemimpinan tunggal manakala sang kiai dominan memimpin sholat lima waktu, Hadratussyekh memecah tradisi ini dengan mendelegasikan kepada santri-santri atau putera-putera yang dipandang mampu. Mungkin ini yang dinamakan dengan demokrasi atau istilah manajemennya, the right man is the right place. Menempatkan orang secara proporsional pada posisinya masing-masing.
Kepemimpinan ideal
Itu terjadi sejak awal Pesantren Tebuireng berdiri tahun 1899 Masehi. Ketika Madrasah Nizhomiyah yang didirikan oleh KHA Wahid Hasyim (914-1953) bersama KH Mahfudz Siddiq (1907-1944) sebagai bentuk reformasi pendidikan pesantren tahun 1934 menjadi klasikal atau dimadrasahkan. Pola tersebut mulai mengadopsi sistem kurikulum dengan mempertahankan materi-materi pelajaran khusus (takhasus) 75 persen, ditambah materi-materi pelajaran praktis yang biasa dipakai umum 25 persen seperti keterampilan-keterampilan berbahasa Inggris, berbahasa Indonesia, administrasi, matematika, hingga keorganisasian.
Kepemimpinan utama di Pesantren Tebuireng diambil dari kalangan keluarga (zuriyah) sendiri. Hadratussyekh sangat selektif memilih menantu untuk kelangsungan pesantren. Ia mengambil menantu yang benar-benar pilihan dan dapat menopang kelangsungan pesantren sehingga tidak terjadi perpecahan. Masing-masing menantu tentu memiliki kapasitas keilmuan di bidang masing-masing seperti Hadratussyekh KHM Yusuf Masyhar yang ahli Al Quran, KH Ma’shum Ali yang ahli Shorof, KH Mahfudz Anwar yang ahli ilmu Falak, dan seterusnya. Sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial dan Pesantren Tebuireng tetap dalam satu komando. Adapun pesantren-pesantren yang berdiri di sekitar Tebuireng pun tidak didirikan oleh keluarga utama, seperti menantu atau santri-santri senior seperti Pesantren Seblak, Pondok Pesantren Walisongo Cukir, Pondok Pesantren Madrasatul Quran, dan lain-lain. Jadi, relasi yang terbangun kemudian adalah saling mendukung dan melengkapi dari program-program pengembangan pesantren dan spesifikasi pendidikan yang dibutuhkan oleh parasantri dari zaman ke zaman.
Terakhir, kepemimpinan di Pesantren Tebuireng mengutamakan musyawarah. Ada musyawarah dewan keluarga dan musyawarah dewan kiai (santri-santri senior). Setiap terjadi pergantian (suksesi) kepemimpinan diutamakan musyawarah.
Dengan demikian, Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari berhasil meletakkan dasar-dasar sistem kepemimpinan dan regenerasi secara ideal sesuai kebutuhan zamannya.
Single Majority
Dari pola dan sistem kepemimpinan demikian pula, tujuan dan cita-cita organisasi/lembaga pendidikan di Pesantren Tebuireng tetap terpelihara, baik tradisi maupun dalam merespon perubahan-perubahan sosial. Dengan sistem dan organisasi yang terjaga, tradisi dan pembaharuan berjalan dinamis. Tidak frontal dan memicu perpecahan. Sehingga pada level organisasi dan lembaga yang lebih besar, Hadratussyekh dan organisasinya tetap menjadi single majority pada zamannya yang tidak bisa ditiru oleh organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga lain. Sebagaimana organisasi yang terlanjur maju dan liberal, tapi meninggalkan akar-akar tradisi. Begitu pula sebaliknya, tetap berpegang kokoh pada tradisi, tapi lamban dalam merespon perubahan.
Maka, tidak salah, jika kemudian berbicara reorganisasi dan regenerasi mesti merujuk kepada Pesantren Tebuireng, tidak kepada pesantren-pesantren lain yang masih mementingkan sistem kepemimpinan tunggal dan lemah dari segi manajerial, apalagi didorong oleh keunggulan spiritual.
Gus Dur, KH Abdurrahman Wahid, (1940-2009) adalah salah satu saja di antara peletak dasar reorganisasi dan regenerasi yang diwariskan dari Hadratussyekh. Gus Dur termasuk pelopor yang mampu menyatukan berbagai ragam kepentingan pesantren di samping menyatukan keragaman dalam sistem berbudaya, beragama, berbangsa, dan bernegara yang lahir pada zamannya. Dari Gus Dur, terlahir generasi-generasi yang kokoh, meskipun diakui atau tidak. Ada banyak yang bisa diambil darinya, baik oleh kawan atau lawan politik. Begitu pula, baik dari dalam organisasi maupun di luar organisasi.
Dari segi kepemimpinan nasional, masa Reformasi adalah romantisme tersendiri hubungan antara Gus Dur dan Hj Megawati Soekarnoputri. Keduanya “runtang runtung” menyelami jiwa rakyat Indonesia. Dari desa ke desa, dari majelis ke majelis, dari komunitas satu dengan komunitas lain. Untuk tidak menyakiti hati penguasa “status quo” pada saat itu, Gus Dur tak segan-segan membangun komunikasi bersama Hj Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) kala itu. Mendatangi Presiden Soeharto sendiri, mengunjungi Presiden BJ Habibie hanya sekadar sarapan pagi, dan seterusnya.
Cirebon, 22 Mei 2022.