Tidak ada yang benar-benar berani menggunakan sistem sosialisme sebagai ideologi negara, kecuali Saddam Hussein (1937-2006), Moammar Khadafi (1942-2011), dan Hugo Chavez (1954-2013). Meskipun Gus Dur, KH Abdurrahman Wahid (1940-2009), mengatakan “Syiah adalah NU plus imamah”, namun warna sosialisme cukup kental pada dirinya.
Ciri-ciri Tatanan Dunia Baru (The New World Order) yang terbentuk setelah kekalahan Kekaisaran Usmaniyah Turki pada Perang Dunia Pertama dan disusul kemudian pada Perang Dunia Kedua adalah terbentuknya Liga Bangsa-bangsa (LBB) yang mengarah kepada pembentukan negara-negara nation state (negara bangsa) pada tanggal 10 Januari 1920 serta terbentuknya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mengarah pada terbentuknya negara-negara Blok Barat (kapitalisme) dan Blok Timur (Komunisme) pada tanggal 24 Oktober 1945.
Meskipun belum diketahui, siapakah pemenang perang antara Rusia dan NATO saat ini, setidaknya negara-negara lain sudah bersiap-siap untuk menerima konsekuensi dan dampaknya. Rusia secara sepihak (dan juga beberapa negara afiliasinya seperti China, India, Afrika Selatan, dan Brazil) sudah menyodorkan satu konsep baru, Fair World Order (Tatanan Dunia Berkeadilan) yang berbasis geopolitik. Tidak dalam bentuk siapa pemenangnya, tetapi kepada hasil nilai tawarnya, kompromi.
Bentuk Pengulangan Sejarah
Tanggal 29 Mei 1453 adalah momentum yang selalu dikenang oleh suku-bangsa Turki, ketika Kekaisaran Usmaniyah berhasil merebut ibukota Kekaisaran Bizantium, Konstantinopel. Saat itu, Kaisar Mehmed berhasil masuk ke Hagia Sophia.
Pada kurun sebelumnya, Kekaisaran Bizantium (Romawi Timur) yang beraliran Kristen Ortodoks berhasil mengalahkan Kekaisaran Roma (Romawi Barat) di Italia. Di samping, terus mengobarkan semangat Perang Salib di Timur Tengah.
Tidak dalam kerangka revolusi Bolshevik yang meruntuhkan Kekaisaran (Tsar) Rusia, berdirinya negara Uni Soviet pada 30 Desember 1922 menjadi representasi Romawi Timur yang telah dikalahkan, meskipun dalam bentuk negara dengan sistem Komunisme.
Namun yang jelas, pascakeruntuhan Uni Soviet pada tanggal 31 Desember 1991, PBB sudah dinilai tidak lagi adil di dalam memperlakukan negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Peristiwa-peristiwa berantai seperti hukum gantung yang ditimpakan kepada Saddam Hussein pada tanggal 30 Desember 2006, menyusul pembunuhan Moammar Khadafi pada tanggal 20 Oktober 2011, maka dunia sudah terasa tidak nyaman. Timur Tengah terus dilanda perang dan terorisme.
Dalam banyak hal dan pertimbangan, Gus Dur tidak meyakini jika Saddam Hussein berhasil digulingkan perdamaian akan dicapai. Tindakan-tindakan separatisme yang menentang Moammar Khadafi dan Saddam Hussein bisa liar dan mengganggu ketentraman dunia, terbukti kemudian dengan kemunculan organisasi-organisasi terorisme seperti Al Qaeda dan ISIS.
Bagi Gus Dur, penyelesaian masalah-masalah dengan cara militeristik dan kekerasan bukan upaya pemecahan masalah, tapi memperlebar masalah.
Buya Said dan Welfare State
Buya Said (KH Said Aqil Siroj) merasa ketidakadilan belum benar-benar hadir. Hal ini terbukti dengan meluasnya virus pandemi yang memakan banyak korban. Pada masanya, tidak kurang dari 700 kiai dari kalangan NU meninggal dunia. Belum lagi ditambah jumlah masyarakat lainnya. Dan, hingga kini, belum ada organisasi, kelompok, individu, atau negara yang mengaku bertanggung jawab atas merebaknya virus Covid-19.
Kemakmuran setidaknya harus tercipta secara adil. Konsep Welfare State harus ditata ulang. Karena, konsep pengelolaan dana-dana sosial masih jauh dari yang diharapkan. Antara zakat, infak, shodaqoh, asuransi, jaring pengaman sosial, masih tumpang tindih. Belum benar-benar menjadi jaminan atas sebuah negara makmur, Welfare State.
Welfare State dalam konsep baru harus dikaitkan dengan sistem geopolitik, terutama kenusantaraan. Mayoritas penduduk Asia Tenggara yang beragama Islam menjadi jaminan sekaligus tumpuan konsep Islam Nusantara dalam tataran Welfare State dan geopolitik yang mesti dapat seiring sejalan. Tentu, dengan tanpa mengabaikan eksponen-eksponen bangsa lainnya.
Dengan demikian, latar belakang sejarah yang telah menjadikan agama sebagai alat politik dan perang dapat diredam. Sejarah tidak perlu terulang.
Cirebon, 22 Mei 2022.