Biasa dipanggil Jamal Kuplay karena sejak menjadi mahasiswa di Yogya sudah giat berusaha.
Rumah itu besar dan mewah. Lokasinya berada di dekat STIE Yogyakarta dan terminal lama Yogya, Umbulharjo. Di lingkungan elit itu, Jamal dan istrinya, Eli Subriyanti, menikmati hidup bersama putera-puteranya.
Sukses di Yogya
Meskipun sukses dan sudah melanglang buana hingga ke negeri China, Malaysia, dan India, ia masih tampak bersahaja seperti santri kebanyakan. Istrinya, lebih-lebih, sudah pernah juga mengikuti ajang bisnis di Italia.
Semasa kuliah di fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga, Jamal sudah jarang aktif mengikuti diskusi yang diselenggarakan oleh teman-teman sekelas menjelang akhir masa kuliah. Namun, bukan berarti tidak pernah datang, Jamal dan Eli termasuk rajin dan produktif. Jamal dan istrinya mampu menyelesaikan skripsi dengan baik, meskipun perhatian terhadap dunia bisnis malah menjadi minat keduanya.
Eli gadis Subang yang murah senyum itu tampak lebih agresif menekuni bisnis. Sementara Jamal masih sibuk belajar dan mendaras Al Quran. Selama perjalanan awal, Eli tampak lebih provokatif bila dibandingkan dengan Jamal sendiri. Mungkin, karena masih pembawaan gaya pesantren sehingga tampak lebih kalem.
Seusai wisuda, Eli dan Jamal memutuskan segera menikah. Jalinan cinta yang terajut sejak awal di bangku kuliah sukses hingga ke kursi pelaminan.
Setelah menikah, keputusan mereka memilih untuk hidup di Yogya, meneruskan pekerjaan yang sudah dirintis. Dengan bekal hidup seadanya, mereka mengontrak sebuah rumah. Tidak terbayang, orang Jakarta yang mau hidup susah di perantauan. Padahal, rumah kontrakan milik orangtuanya sudah lebih dari cukup untuk sekadar memulai hidup baru dengan sederhana.
Tekad kuat Eli dan Jamal terus menggebu-gebu, mengejar target untuk menyelesaikan masa muda dengan bekerja keras. Terkadang, Eli sudah di Surabaya sementara Jamal di Malang. Satu waktu, Jamal sudah di Bengkulu sementara Eli berada di Bali. Singkat kata, keduanya sama-sama sibuk menghadiri acara bisnis.
Rindu MQ Tebuireng
Kendati sudah bisa mengejar target di dalam usaha-usaha yang dikejar, Jamal dan Eli masih sering meluangkan waktu untuk teman-temannya. Keduanya berprinsip “business is business”, tidak berbicara bisnis manakala sedang kumpul bersama teman-teman.
“Rumah ini kami beli dengan sholawat,” ujar Jamal sambil tersenyum, memulai cerita. “Pertama, dulu, kami kontrak. Tapi, Eli ingin memilikinya,” terangnya. “Kenapa sholawat? Si pemilik rumah ini sudah tidak berminat lagi memilikinya, ia ingin menjualnya dengan harga murah. Lalu, Eli berinisiatif untuk memperbanyak baca sholawat. Alhamdulillah, kami bisa membayarnya dengan harga tidak terlalu mahal pada waktu itu. Kalau sekarang, mungkin sudah miliaran rupiah.”
Eli tampak sibuk menyiapkan hidangan makan siang, sementara putera-puteranya sedang bermain. Tak lama kemudian, Jamal sudah membawa nasi, ikan goreng, dan sayur asem. “Kalau butuh apa-apa bilang saja. Atau, kalau butuh motor, pakai saja!” katanya, sambil meletakkan piring dan mangkuk.
Setelah makan, Jamal mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. “Kalau ada teman merokok, saya baru merokok, karena bukan hobi,” katanya, lagi, sambil tertawa. “Cukup dulu jadi pecandu rokok. Sekarang, istirahat. Kegiatan bisnis juga sudah mulai berkurang. Tidak seperti dulu lagi, pergi-pergi, meninggalkan anak istri.
Kesibukan saya sudah mulai banyak di rumah. Seminggu sekali mengajar ibu-ibu mengaji seusai sholat Jum’at. Namanya santri MQ Tebuireng, ya, tetap njagani Al Quran. Dulu, kita sekolah, pakai kurikulum Gus Dur, targetnya tidak untuk menjadi pegawai atau birokrat. Ya, jadi orang merdeka seperti ini,” pungkasnya.
Jamal mengenang-ngenang susahnya zaman mesantren untuk mencari ijazah. Karena, program sesungguhnya untuk menjadi pengabdi Al Quran. Paling banter jadi kiai atau ustadz. Jarang-jarang santri jadi konglomerat!
Cirebon, 22 Mei 2022.