Dinasti Ikhsyidiyah (935-969 Masehi)
Mesir dikenal sebagai peradaban kuno yang berjaya karena kesuburannya di lembah sungai Nil. Secara jelas, kitab suci Al Quran memberitakan tentang kisah-kisah Nabi Musa As dan Firaun dari segi “locus” dan “tempus”nya. Berbeda dengan kisah nabi-nabi sebelumnya yang disebutkan secara samar sehingga memerlukan penelitian dan tafsir yang mendalam dari berbagai aspek ilmu pengetahuan seperti arkeologi, genealogi, geografi, filologi, dan lain-lain.
Muhammad bin Tughj (882-946 Masehi) adalah keturunan suku-bangsa Turki yang ditunjuk Khalifah Dinasti Abbasiyah sebagai wali atau penguasa Mesir. Latar belakangnya adalah seorang tentara bayaran (sebagian berpendapat sebagai budak).
Dengan kemampuan militer yang tangguh, Muhammad bin Tughj berhasil menguasai Iskandariah (pusat kebudayaan sebelum berpindah ke Kairo yang dibangun oleh Dinasti Al Fathimiyah di kemudian hari) setelah porak-poranda, sepeninggal Dinasti Umaiyah di Damaskus. Tidak kurang dari dua tahun, Muhammad bin Tughj berhasil membangun kekuatan di Mesir sehingga ia digelari “Ikhsyidi” yang berarti pangeran. Muhammad bin Tughj mulai melakukan ekspansi besar-besaran ke wilayah-wilayah Syiria, Palestina, dan Hijaz yang belum kondusif keamanannya. Pada masa Kafur (965-967 Masehi), kekuasaan Dinasti Al Ikhsyidiyah tampak tak terbatas di negeri-negeri Timur Tengah.
Pada masa Kafur pula, artefak-artefak budaya seperti naskah-naskah kesusasteraan dapat dilindungi dari pengrusakan yang dilakukan oleh kelompok dari Dinasti Al Fathimiyah. Secara sporadis, Dinasti Al Fathimiyah dari Tunisia senantiasa melakukan serangan-serangan ke pusat kekuasaan Dinasti Al Ikhsyidiyah, namun tidak berhasil.
Diskusi-diskusi ilmiah berkembang pesat di masjid-masjid. Satu pusat diskusi yang paling terkenal pada saat itu adalah Syuq Al Waraqir.
Dinasti Al Ikhsyidiyah mengalami kemunduran sepeninggal Kafur. Abu Al Fawarisaris Ahmad bin Ali (967-972 Masehi), pengganti Kafur, tidak dapat mempetahankan dirinya sehingga berhasil dikalahkan oleh Dinasti Al Fathimiyah.
Dinasti Fathimiyah (909-1172 Masehi)
Faham “Kemahdian” muncul dari kalangan umat Islam, baik dari Ahlussunah wal Jama’ah (Sunni) maupun Syiah. Hanya berbeda persepsi mengenai sosok “Juru Selamat” yang akan muncul tersebut.
Kedatangan Juru Selamat dalam persepsi ini merupakan tanda-tanda kedatangan Hari Kiamat. Ketika dunia dilanda kekacauan alamnya. Dan, selain Imam Mahdi akan muncul pula Nabi Isa As untuk membersihan “fitnah-fitnah” yang telah beribu-ribu abad yang lalu menimpa dirinya. Nabi Isa As akan kembali turun atau hadir di dunia.
Terdapat empat pendapat yang menyatakan tentang sosok Imam Mahdi yang akan hadir kembali di dunia. Pertama, Imam Mahdi yang berasal dari keturunan Fatimah Al Zahra binti Rasulullah Saw. Ia dikatakan lahir dari kalangan Ahl Al Bait. Namanya serupa dengan Nabi Muhammad Saw. Pendapat ini disepakati oleh mayoritas ulama Ahlussunah wal Jama’ah. Sebagian ulama Ahlussunah wal Jama’ah ini menambahkan, nama ayah Imam Mahdi sama persis dengan ayahnya Rasulullah Saw, Abdullah.
Pendapat kedua, Imam Mahdi hanya sesosok figur penyelamat kehidupan umat manusia. Bagi pendapat ini, Imam Mahdi tidak harus dari keturunan Fatimah Al Zahra, yang penting dia seorang muslim. Maka, tidak heran, jika kemudian banyak orang yang mengaku dirinya sebagai Imam Mahdi sejak abad pertama Hijriah ketika melihat kekacauan-kekacauan yang sedang melanda dunia.
Ketiga, Imam Mahdi dilambangkan sebagai simbol kemenangan yang Haq dari yang batil atau ketidakadilan. Pendapat ini banyak dipakai oleh ulama-ulama mutakhir, karena Imam Mahdi tidak hadir dalam wujud dan rupa manusia biasa, melainkan keseimbangan alam.
Pendapat yang keempat muncul dari kalangan Syiah. Mereka berpendapat: Imam Mahdi adalah sosok figur yang jelas dari keturunan Fatimah Al Zahra (Ahl Al Bait). Dia adalah sosok imam terakhir yang sedang dan akan dinanti-nantikan kehadirannya.
Meskipun demikian, pendapat kalangan Syiah ini terbagi lagi pada tiga pendapat. Pertama, Syiah Kaisaniyah yang menganggap Muhammad bin Hafiah, putra Ali bin Abi Thalib, adalah Imam Mahdi. Berarti pernah hadir dalam sejarah.
Kedua, Syiah Ismailiyah Al Sab’iyah (Syiah Tujuh Imam) menganggap Isma’il bin Jafar Al Sadiq adalah Imam Mahdi. Ketiga, Syiah Dua Belas menganggap Muhammad Al Muntazar bin Hasan Al Askari. Imam yang ke-12 adalah Imam Mahdi.
Syiah Dua Belas memiliki jumlah penganut mayoritas hingga saat ini. Bagi mereka, Muhammad Al Muntazar adalah Imam Mahdi yang dijanjikan, namun pada tahun 329 H sosok imam mereka ini digaibkan oleh Allah Swt dari alam nyata di dunia. Secara umum, Imam Mahdi menurut kalangan Syiah adalah sosok personifikasi (manusia) yang pernah hadir dalam sejarah sehingga akan hadir kembali (reinkarnasi) untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan terhadap kaum tertindas dan menegakkan keadilan. Terutama, merebut kembali “Kekhalifahan” dari tangan Sayidina Ali bin Abi Thalib yang dirampas oleh Muawiyah bin Abi Sofyan beserta anak keturunannya.
Berangkat dari sini, sosok Juru Selamat, baik bagi umat Islam (Imam Mahdi) maupun umat Nasrani (Nabi Isa As) akan kembali hadir sebagai penyelamat (Mesiah) dari ketidakadilan dan kerusakan. Dan, menjadi imaginasi masyarakat di setiap zaman ketika tampak ketidakadilan dan kerusakan tersebut.
Keruntuhan kekuasaan Dinasti Umaiyah di Damaskus pada 750 Masehi serta awal kebangkitan Dinasti Abbasiyah yang belum benar-benar kokoh telah menimbulkan kekacauan tatanan sosial politik umat Islam. Dari kekacauan sosial tersebut, muncul imaginasi ke dalam sosok yang didambakan.
Gerakan politik Dinasti Fathimiyah bermula dari suatu tempat bernama Mahdia di Tunisia. Kemudian, pindah ke Kairo, Mesir, pada 969 Masehi. Dalam catatan sejarah, Dinasti Fathimiyah adalah pendiri kota Kairo dan Universitas Al Azhar yang terkenal. Pada masa Dinasti Fathimiyah ini, Mesir menjadi pusat Hadarat Al Islam yang berpengaruh dari Afrika Utara, Sisilia, Laut Merah, Palestina, Suriah, Yaman, Yordania, hingga Hijaz.
Dinasti Fathimiyah didirikan oleh Said ibn Husein atau Abu Muhammad Abdullah bergelar Ubaidillah Al Mahdi Billah (873-984 Masehi). Dinasti Fathimiyah disebut pula dengan nama Dinasti Ubaidillah.
Dinasti Fathimiyah pada awalnya adalah sebuah gerakan keagamaan yang dilakukan oleh Sa’id ibn Husein Al Salamiyah. Kedatangan Said ibn Husein ke Bumi Afrika dari Suriah penuh dengan petualangan politik. Sehingga dari segi silsilah dan nasabnya masih menjadi perselisihan pendapat parasejarawan, karena banyak dari kalangan Bani (anak turun) Sayidina Husein hidup dalam penyamaran (dalam bahasa penganut Syiah disebut “taqiyah”) sejak Muhammad ibn Ismail hingga Ubaidillah Al Mahdi. Garis Imamah atau Imamiyah tersebut muncul dari keturunan Sayidina Husein bin Ali bin Abi Thalib tidak secara terbuka mengklaim diri sebagai khalifah, tetapi dianggap sebagai wakil Tuhan yang sejati di bumi.
Kedatangan Said ibn Husein ke Tunisia disambut dengan baik karena dua hal. Pertama, sosok figur Said ibn Husein sebagai keturunan Rasulullah Saw cukup representatif untuk dijadikan seorang imam, terutama imamah dalam pandangan Syiah Imamiyah yang mengabarkan akan kemunculan Imam Mahdi sebagai Juru Selamat.
Kedua, persaingan tribalisme (kesukuan) di antara suku-bangsa Barber memberi kesempatan Said ibn Husein untuk mendapat panggung tersendiri. Atas dukungan suku-bangsa Barber Ketama, ia berhasil mengalahkan Dinasti Rustamiyah Kharaij di Tahart, Dinasti Aghlabiyyah, dan Dinasti Idrisiyah di Fez, Maroko.
Sitt Al Mulk 970-1023 Masehi)
Sisi menarik dari Dinasti Al Fathimiyah adalah pada Sitt Al Mulk, sosok figur putri Khalifah Kelima ,Nizar Al Aziz Billah, yang beristri seorang Kristen dari Bizantium. Toleransi Al Aziz terhadap keragaman melampaui kehidupan pribadinya. Terlepas dari kritik, di bawah pemerintahannya nonmuslim diberi hak istimewa yang belum pernah dimiliki sebelumnya dan mencapai tingkat partisipasi politik yang tinggi.
Paman Sitt Al Mulk dari pihak ibunya memegang posisi Patriark Yerusalem dan Alexandria di Gereja Ortodoks Melkite, berkat sponsor ayahnya.
Pada 973 Masehi, pengadilan Fathimiyah pindah dari Tunisia ke Kairo sebagai ibukota baru. Sitt Al Mulk tumbuh sebagai putri seorang ayah yang penuh pujian. Selain gaya hidup mewah dengan 4.000 budak wanita, Sitt Al Mulk sering berkonsultasi tentang urusan negara, memberinya pengalaman dalam bidang kepemimpinan sejak usia dini.
Al Aziz meninggal pada 996 Masehi saat bermanuver melawan Kekaisaran Bizantium. Sitt Al Mulk berusia 25 tahun ketika saudara tirinya yang berusia 10 tahun, Hakim bi Amr Allah, menggantikan ayahnya. Sitt Al Mulk dituduh akan melakukan kudeta, merebut tahta atas nama paman dari pihak ayah. Sitt Al Mulk pun ditangkap oleh Barjawan, seorang kasim pengadilan-guru Al Hakim-yang dipromosikan menjadi Perdana Menteri.
Setelah Barjawan terbunuh pada 1000 Masehi, Sitt Al Mulk mendapat perhatian dari Al Hakim. Sitt Al Mulk membantu Khalifah muda itu untuk menegosiasikan kasus-kasus kerajaan yang tersandung dari krisis. Namun, selama 25 tahun berikutnya, Al Hakim terbukti menjadi pemimpin yang eksentrik. Dia sangat misoginis: salah satu tindakannya adalah melarang tukang sepatu membuat sepatu untuk wanita, untuk membatasi aktivitas mereka di luar rumah. Sitt Al Mulk sempat melindungi salah satu istri Al Hakim yang melarikan diri dari penganiayaan suaminya. Pada 1004 Masehi, Al Hakim memerintahkan penghancuran Gereja Makam Suci di Yerusalem-memberlakukan pembatasan terhadap orang Yahudi dan Kristen, juga menghancurkan gereja dan biara. Sementara Sitt Al Mulk sendiri selalu menjaga hubungan baik kerabat Kristen dari keluarga ibunya.
Keteguhan hati dan perilaku aneh Al Hakim menyebabkan hubungannya dengan Sitt Al Mulk memburuk. Hal ini tercermin dalam pembunuhan beberapa sekutu Sitt Al Mulk oleh pasukan Al Hakim.
Pada 1021, Al Hakim hilang saat melakukan kebiasaannya jalan-jalan di malam hari. Setelah empat puluh hari, dia dinyatakan meninggal. Diapun diceritakan telah dibunuh oleh Sitt Al Mulk dengan bantuan militer, meskipun tidak pernah terbukti. Setelah kematian Al Hakim, Sitt Al Mulk menyatakan putra Al Hakim, Al Zahir, yang berusia 16 tahun sebagai khalifah, dan mengangkat dirinya sebagai wali. Meskipun dicurigai telah membunuh Al Hakim, Sitt Al Mulk mampu mengambil perhatian sebagai kepala daerah karena popularitasnya akibat pemerintahan Al Hakim yang suka memecah belah. Juga, menarik hati keluarga parapembangkang yang dibunuh pada masa pemerintahan Al Hakim.
Sebagai pejabat, dia membatalkan kebijakan warisan Al Hakim, termasuk membangun kembali gereja di Alexandria yang telah dihancurkan. Sitt Al Mulk juga menegakkan kembali sistem perpajakan komersial yang telah dihapus oleh Al Hakim, membebaskan wanita dari kurungan rumah, memberi izin untuk memakai perhiasan, membatalkan larangan bermusik dan minum anggur, serta ibadah Kristen dan Yahudi. Salah satu usaha politik Sitt Al Mulk yang paling penting adalah mengurangi ketegangan antara Fathimiyah dan Kekaisaran Bizantium dengan memberi solusi untuk wilayah Aleppo yang disengketakan. Perlakuan yang lebih adil terhadap orang-orang Kristen dan hubungan pribadi dengan pihak Kekaisaran Bizantium.