Pendidikan dan kasih sayang tidak selalu ditunjukkan dengan senyum dan belaian. Terkadang, malah sebaliknya.
KHM Yusuf Hasyim, biasa disapa Pak Ud, adalah salah satunya. Sebagai salah satu putera Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari yang ditempa dalam pendidikan militer dan kejamnya peperangan, perbawanya tentu tidak seperti yang diharapkan. Humoris seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) atau KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah). Kesan angker membayangi wajah Pak Ud.
Dan, itu terbukti.
Dengan wajah dan tangan dingin, ada banyak kesan positif yang didapat sepeninggalnya. Pesantren Tebuireng yang berdiri megah serta kader-kader yang gigih dan kuat.
Tentu, sudut pandang juga dapat memberikan penilaian. Situasi dan kondisi juga demikian. Tidak selamanya seseorang akan menjadi keras terus menerus. Juga, tidak menjadi lembut terus menerus. Justeru, tidak manusiawi jika hanya melihat dan menilai hanya dari satu sisi saja.
Dan, itupun umum di kalangan parakiai.
Ibarat memangku jagad tentu sebesar jagad pula besaran problem yang harus ditanggung. Ibarat anak pisang pula, untuk tumbuh subur dan cepat besar, harus pula dipisah.
Pola kepemimpinan pesantren sama persis seperti yang dilontarkan oleh Ki Hajar Dewantara, karena memang ayahnya seorang kiai pesantren. “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. Seorang pemimpin adakalanya di depan, di tengah, dan di belakang. Semua sesuai porsi dan posisi. Begitupun Pak Ud.
Sekilas ia sangat tidak disukai. Bahkan, tidak jarang berpolemik di media dengan keponakannya sendiri, Gus Dur. Begitu pula, terhadap santri-santri senior yang mendampinginya di Pesantren Tebuireng seperti KH Syansuri Badawi, KH Ishak Latif, atau KHA Mustai’in Syafiie. Kritik mengkritik adalah hal biasa dan lumrah. Sehingga parasantri asyik mengikuti jalannya polemik tersebut.
Seorang teman akan berkata, “Kenapa kiai-kiai pesantren sering gontok-gontokan sendiri?”
Pertanyaan itu bisa dengan gampang dijawab.
Ibarat sebuah panggung atau ring tinju. Kalau yang ada di panggung atau ring itu hanya diam saja tentu menjadi tidak menarik bagi penonton. Jawa Timur adalah gudangnya ludruk. Kalau panggung atau ring itu tidak dimanfaatkan oleh pemainnya nanti akan direbut dan diambil alih oleh parapenonton. Lihatlah republik netijen, tidak ada lagi batas menarik dan tidak menariknya suatu pertunjukan. Di samping, uji kualifikasi tidak pernah terproses. Tampak seperti ayam sayur, loyo. Menonton Mike Tyson jauh lebih menarik daripada menonton Smackdown yang penuh trik dan intrik berdarah-darah. Membosankan. Karena, tidak alami, cenderung dibuat-buat, dan tidak melalui proses yang wajar.
Dapat dibayangkan kalau Gus Dur hanya menjadi kiai di Pesantren Tebuireng, dia mungkin tidak bisa melebihi reputasi pamannya, Pak Ud. Berkat tempaan hidup keras di Jakarta, justeru dirinya dapat melampaui.
Berhenti membodohi diri dengan atas nama tawadu. Tawadu ada frekuensinya sendiri. Dalam tulisannya tentang pesantren, Gus Dur menggambarkan masjid sebagai ajang “gelut” kiai dan santri. Di situ, ada munaqasyah, ada hiwar, ada imtihan, ada haflah, dan seterusnya. Kebenaran tidak tunggal. Bisa saja, dia datang dari sudut kampung udik yang jauh di puncak gunung dan dekil. Wallahu Al Musta’an.
Cirebon, 23 April 2022.