Lahir di Paciran, Kabupaten Lamongan, pada tanggal 3 Desember 1955, KHA Mustai’in Syafiie tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan kritis. Ia dikenal tidak sekadar penuh “performance”, “talent”, “appearance”, dan “appeal”, tapi memang memiliki daya magis yang memikat. Maka, tidak heran, jika kemudian tidak sedikit di antara koleganya ada yang menaruh iri dengan popularitasnya.
Kelebihan utama yang tampak pada diri KHA Mustai’in Syafiie adalah kepiawaiannya dalam memanfaatkan berbagai macam media. Mulai dari panggung pengajian umum, meja seminar, meja sidang ilmiah, majalah, koran, televisi, dewan juri musabaqah, dewan perwakilan rakyat, di atas mimbar khutbah, atau sekadar di meja kopi. Kepiawaiannya akan selalu mengundang daya tarik. Karena, dia adalah penulis, orator, dan juga humoris.
Keteladanan pertama yang dapat diambil darinya adalah ketawaduan (dalam arti mendahulukan pada pengabdian). Meskipun kealimannya sudah “sundul langit”, tapi ketawaduan masih tetap menjadi prioritasnya. Dia tegas kepada setiap santri, terutama yang dipandang lembek di hadapannya. Sikapnya yang kalem sering membuat perbawa tersendiri. Membuat sungkan atau bahkan menimbulkan rasa takut. Namun, KHA Mustai’in Syafiie akan selalu menantang santrinya agar tidak lemah. Harus bergairah. Apalagi bila sudah menyangkut ilmu. Baginya, ilmu adalah prioritas yang utama. Ia selalu menyatakan kesediaannya jika sudah menyangkut pada persoalan ilmu. Apalagi pada Al Quran dan pesantrennya, Pondok Pesantren Madrasatul Quran (MQ Tebuireng). Mengabdi kepada ilmu, Al Quran, dan pesantren berarti mengabdi kepada gurunya. Yang lain minggir dulu! Sing liyane nyingkrih disik, keri!
KHA Musta’in Syafiie bisa terbilang kiai progresif. Produktif dan reproduktif dalam membaca kesalafan. Pandangannya selalu kritis, mencari celah “yang tak terpikirkan” oleh orang lain. Mungkin, sudah sesuai dengan kondisi zaman. Sekarang bukan saatnya menerima kebenaran-kebenaran tunggal tanpa koreksi. Melainkan harus ditelaah secara kritis. Demikian, bila mengikuti pengajian-pengajian atau kuliah-kuliah “Tafsir Al Ahkam”nya. Ia akan memaparkan satu persatu pendapat dan menelaah dari berbagai sudut keilmuan secara kritis, dari sumber-sumber valid dan otoritatif sebelum menyatakan “benar”, serta mengambil kesimpulan untuk diamalkan.
Demikian pula “dawuh kiai” yang sering dianggap sakral oleh parasantri. Sebelum benar-benar ditelaah, belum bisa diterima olehnya. Baginya, kebenaran ilmu bisa bersifat “nisbi”, relatif. Tidak mutlak. Satu pendapat bisa gugur oleh pendapat lain yang sesuai dengan konteks atau lebih didahulukan oleh uji klinis “kesahihan”.
Hal ini dapat dilihat pada pandangannya tentang cara ucap huruf “Jim”. Dengan kritis, ia berpendapat, “Jim saya lebih pas daripada Jimnya Pak Kiai (gurunya, Hadratussyekh KHM Yusuf Masyhar) setelah masuk tes audio di laboratorium.”
Begitu pula, konflik dan polemiknya dengan KHM Yusuf Hasyim (Pak Ud), pengasuh Pesantren Tebuireng tahun 1965-2006, terutama dalam problem-problem politik. Tanpa tedheng aling-aling, kritiknya terhadap Pak Ud sering disampaikan dari atas mimbar khutbah Jumat yang Pak Ud ada di dalam barisan jamaah bersama parasantri. Sering, Pak Ud menjadi inspirasi tersendiri dari isi-isi khutbahnya dalam membaca realitas politik pada zamannya.
Dalam hal penerapan materi kurikulum di MQ Tebuireng, KHA Mustai’in Syafiie tak sungkan-sungkan untuk beradu argumen dengan gurunya, KHA Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Padahal, yang meracik kurikulum itu pada awalnya Gus Dur.
Gus Dur sempat berang karena banyak materi yang berubah. “Kalau salaf ya salaf saja, tidak usah diformalkan, apalagi harus mengejar ijazah,” ungkap Gus Dur.
Namun, KHA Mustai’in Syafiie berpendapat lain, karena menurutnya Al Quran yang dimadrasahkan itu harus mau menerima tafsir-tafsir dari berbagai aspek dan tujuan ilmu. Tidak dari satu sudut pandang saja.
Perbedaan pendapat itu tidak perlu terjadi dan mungkin sekarang sudah tidak relevan lagi, karena santri-santri salaf yang tidak sekolah pun bisa memeroleh ijazah dan mendapat pengakuan dari negara, tanpa harus merubah kurikulum dan status sekolah. Tidak seperti pada masa itu, masa Orde Baru.
Demikian, KHA Mustai’in Syafiie hadir tidak dalam ruang kosong sejarah. Ia berdialog dan berdialektika, baik secara langsung atau tidak langsung, terhadap realitanya. Ia sadar sebagai seorang santri dengan keterbatasannya, bukan bagian dari zuriyah (keluarga dekat) Ndalen Kasepuhan Pesantren Tebuireng. Namun, sikap kritisnya terhadap ilmu tidak membuatnya gentar. Ia besar dari atmosfir lingkungan orang-orang besar. Mentalnya dikader langsung oleh KH Syansuri Badawi, KH Adlan Aly, KHM Yusuf Masyhar, dan terutama Pak Ud (kiai tentara yang tegas). Dan ternyata, ingin besar harus berani pula untuk hidup di dalam atmosfir besar itu. “Apa tidak ada lagi yang lebih berani selain Kiai Tain?” tanya Gus Sholah (KH Salahuddin Wahid) ketika hendak mengutusnya guna mengisi suatu acara di Madura.
Begitu pula, berbeda bukan asal beda dengan mengorbankan umat. Ia berprinsip, tapi memberi pilihan. Tidak egois. Aksentuasi dan artikulasinya mengatakan, “Menghafal Al Quran itu berat, tapi beratnya tak lebih dari keterampilan.” Asalkan terampil memanfaatkan waktu untuk mendaras setiap hari minimal enam sampai sepuluh juz walau bi al nadhar, tidak ada yang tidak mungkin dari yang berat itu. Jadi, harus terampil. Istiqamah itu ya terampil. Wallahu Al Musta’an.
*Sebuah catatan di penghujung Ramadhan 1443 Hijriyah.
Cirebon, 21 April 2022.