Suku-bangsa Barber
Kemajuan umat Islam tidak saja didukung oleh satu suku-bangsa saja, melainkan beragam. Hal ini sudah dilakukan oleh Rasulullah Saw dalam “Traktat” Piagam Madinah. Berikutnya, terdapat bendera kesukuan yang beraneka warna manakala terjadi Perang Shiffin antara golongan Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sofyan.
Jika di wilayah Timur, Hadarat Al Islam mendapat sumbangan budaya dari suku-suku-bangsa Persia, India, China, Turki, dan Mongol, maka di wilayah Afrika Utara akan dijumpai peranan suku-bangsa Barber.
Hadarat Al Islam dikuatkan oleh keragaman suku-suku-bangsa.
Memang, stigmatisasi suku-bangsa Barber dinilai negatif dalam sejarah. Mereka liar, hidup berpindah, suka merampok, dan tidak berbudaya. Namun, setelah sebagian besar penduduk suku-bangsa Barber memeluk Islam, mereka tidak kalah bila dibandingkan dengan suku-bangsa lain, terutama Arab. Setidaknya, telah tercatat dalam sejarah tentang keberanian Panglima Thariq bin Ziyad (670-720 Masehi) atau Ibnu Batutah (lahir 1304 Masehi), penulis pengembara, yang terkenal telah menjelajahi separuh bumi.Pada umumnya, suku-bangsa asli Barber mendiami wilayah Afrika Utara di bagian barat lembah sungai Nil. Mereka tersebar dari sisi Barat pantai Afrika (Atlantik) hingga oase Siwa di Mesir Timur; dari pantai Mediterania di Utara hingga sungai Niger di Selatan.
Mayoritas orang Barber adalah penduduk Maroko, Aljazair, Libya, dan Tunisia pada masa sekarang. Sebagian kecil menjadi penduduk Mesir, Mali, Mauritania, Burkina Faso, dan Nigeria.
Orang-orang suku-bangsa Barber dinamakan juga dengan sebutan Barbar, Meshwesh (sebutan orang Mesir), Libyans (sebutan orang Yunani Kuno). Numidians dan Mauri (sebutan orang Romawi) atau Moors (sebutan orang Eropa Abad Pertengahan). Mereka menyebut sendiri dengan kata Imazighen atau Amazigh yang berarti “orang merdeka”. Pada tempat lain lebih khusus dengan sebutan Kabyle atau Chaoui.
Dinasti Idrisiyah (788-974 Masehi)
Setelah kekalahan diplomasi Sayidina Ali bin Abi Thalib pada Perang Shiffin (657 Masehi), umat Islam secara kultural terpecah-pecah ke dalam berbagai kelompok dan suku-bangsa. Mereka secara sembunyi-sembunyi membentuk gerakan moral ke dalam komunitas-komunitas thariqah (dikenal pula dengan sebutan imamah bagi kalangan Syiah) di ribath, khaniqah, atau zawiyah. Secara lahir, mereka bersikap tidak berpolitik.
Nama Idrisiyah sendiri lebih dikenal sebagai sebuah lembaga kultural-keagamaan yang didirikan oleh Idris bin Abdullah pada 789 Masehi. Sebagian sejarawan menyebutnya sebagai penganut Syiah-Zaidiyah. Sebelum ke Afrika Utara, Idris bin Abdullah pernah terlibat dalam gerakan perlawanan keturunan Sayidina Ali di Falkhkh, dekat Mekah, terhadap Dinasti Abbasiyah pada 786 Masehi.
Perlawanan keturunan Sayidina Ali tersebut menyebabkan kekalahan besar hingga menyisakan dua orang yang berhasil dan selamat. Keduanya sempat melarikan diri ke Ethiopia sebelum akhirnya berpisah dengan berbeda tujuan. Perjalanan keduanya penuh berliku. Yahya bin Abdullah bin al-Hasan pergi ke Yaman (di sini, Imam Al Syafii berjumpa dan berguru kepadanya), lalu meminta perlindungan di Dailam. Sementara saudaranya, Idris bin Al Hasan pergi ke Maroko, Afrika Utara.
Eksistensi Dinasti Idrisiyah merupakan varian tersendiri, tidak berhubungan dengan Dinasti Umaiyah di Damaskus.
Dinasti ini menjadi kokoh karena didukung oleh kalangan suku-bangsa Barber Zenata di Maroko yang terpesona pada keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib. Di Maroko, Idris memilih Kota Fez sebagai pusat kekuasaan.
Letak geografis yang jauh dari Baghdad telah memberi kesempatan emas bagi Idris untuk membangun kerajaan sendiri. Sultan Harun Al Rasyid pernah mengirim pasukan untuk menyerang Dinasti Idrisiyah di Fez, namun usaha tersebut gagal. Sultan Harun Al Rasyid kemudian mengirim Sulaiman bin Jarir yang berhasil meracuni Idris.
Meskipun demikian, Dinasti Idrisiyah tetap kokoh berkat bantuan dari kalangan suku-bangsa Barber Zaneta.