Orang-orang suku-bangsa Indonesia sadar kalau Pancasila merupakan Mukjizat Katulistiwa. Sehingga dengan atas nama agama sekalipun, sebuah ideologi tidak akan mempu melawannya. Ideologi Islam, ideologi komunis, ideologi khilafah, dan ideologi liberal tidak berhasil dalam melakukan perubahan cara pandang geopolitik di Indonesia.
Seseorang mungkin bertanya; apakah benar Indonesia didirikan oleh parakekasih Allah (waliyullah)? Jika benar demikian, siapa sajakah mereka?
Anugerah Terindah
Wali Allah adalah orang yang telah dianugerahi kenikmatan iman dan Islam di dalam hidupnya. Semakin besar kenikmatan itu, maka semakin besar pula porsi dan posisinya di sisi Allah Taala.
Di dalam mendefinisikan kata Wali Allah, paraulama sering mengutip Al Quran surat Fushilat ayat 30 berikut;
اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ
Sungguh, orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka beristiqamah (pada keimanan itu), maka malaikatpun turun kepada mereka (seraya berkata), “Janganlah kamu takut dan janganlah kamu bersedih; bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan kepadamu.”
Maka, bergembiralah bagi orang-orang Indonesia yang sejak kecil telah dianugerahi iman kepada Allah. Meskipun, kadar keimanan itu seringkali naik dan seringkali pula turun. Sehingga mereka tidak merasa takut dan khawatir karena sudah dijanjikan surga bagi mereka. Bahkan, tidak menunggu hidup di akhirat, dengan gotong royong, tolong menolong, tepo saliro, sopan santun, aman, dan tenteram sudah menjadi bonus tersendiri hidup di dunia seperti di Indonesia ini. Meskipun lagi, sering pula, ada orang datang lalu menyampaikan kebodohan-kebodohan Wahabi, memberi uang agar hidup menjadi liberal, mengajak menuju kepada neraka kehancuran dengan nikmat-nikmat sesaat seperti mabuk-mabukan, narkoba, bersenang-senang, berjudi, dan beragam bentuk yang melalaikan kenikmatan iman yang sesungguhnya.
Namanya ‘Atha’
Seorang sufi dengan penuh kesederhanaan menjadi jurutulis Imam Abu Al Hasan Al Syadzili, pendiri thariqah Al Syadziliyah, bernama Ibnu Athaillah Al Sakandari yang hidup di Kota Iskandariah, Mesir. Syekh Ibnu Athaillah adalah penulis kitab Al Hikam yang bermutu tinggi dan penuh hikmah. Nama sufi ini yang diberikan oleh Muhammad Djamil kepada anaknya yang di kemudian hari dikenal dengan nama Mohammad Hatta. Muhammad Djamil adalah putera Syekh Abdurrahman, mursyid thariqah Naqsyabandiyah di Surau (Pesantren) Batuhampar, Payakumbuh.
Menurut riwayat lain, nama Hatta diambil dari kata bahasa Arab, “Athar”, yang berarti “harum” atau “wangi”.
Sebagai seorang Siak (santri), Hatta dididik langsung oleh pamannya, Syekh Arsyad. Syekh Arsyad sebagai pengganti ayahnya yang telah meninggal dunia ketika Hatta masih berusia tujuh tahun. Syekh Arsyad mendapat baiat thariqah Al Naqsyabandiyah dari Datuk Syekh Abdurrahman. Pada posisi ini, Syekh Arsyad merupakan mursyid penerus di Surau Batuhampar. Sementara Surau Batuhampar adalah salah satu pesantren dari Kaum Adat yang selamat dari keributan Perang Padri yang dipicu oleh Kaum Wahabi. Dan, sebagai pengamal thariqah Al Naqsyabandiyah, Hatta selalu mengukir hatinya dengan nama Allah hingga di kemudian hari menjadi salah satu orang penting pendiri Republik Indonesia dan Tim Sembilan, perumus UUD 1945 dan Pancasila.
Dengan demikian, seandainya Bung Hatta atau Mohammad Hatta tidak pergi merantau dan menjadi orang penting republik, dia akan meneruskan tradisi keluarganya sebagai mursyid thariqah dan ulama berpengaruh di Surau Batuhampar warisan leluhurnya.