Sama seperti dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama adalah mitra bagi pesantren. Hal ini menurut Buya Said (KH Said Aqil Siroj) untuk tetap menjaga independensi pesantren. Karena, pesantren memiliki latar belakang sejarah jauh lebih tua daripada usia republik. Berbeda dengan sekolah yang didirikan sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda dan madrasah yang didirikan pada masa zaman pendudukan Jepang. Komitmen independensi pesantren ini sudah tertuang di dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Dalam Undang Undang tersebut disebutkan: Pendidikan Pesantren diakui sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional dan memberikan landasan hukum bagi rekognisi terhadap peran Pesantren dalam membentuk, mendirikan, membangun, dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian, wajar jika kemudian, kemerdekaan Republik Indonesia merupakan era kebangkitan bangsa yang dipelopori oleh kaum santri. Dan, memang, pada kenyataannya, Indonesia (Nusantara) adalah negeri parasantri. Tidak ada sekat santri, abangan, dan priyayi. Itu hanya prototipe yang dibangun oleh Clifford Geertz dari Amerika. Karena, prototipe itu kemudian, masyarakat hanyut pada budaya sekuler dan nonsekuler. Realitas geopolitik Nusantara, mulai dari Aceh hingga Papua, adalah kaum santri. Di Aceh terdapat meunasah, di Sumatera Barat dan Tengah terdapat surau, di Sumatera Selatan terdapat langgar, di Jawa Barat ada tajug, di Jawa Tengah dan Jawa Timur ada pesantren, dan beragam sebutan berbeda dengan esensi yang sama.
Tokoh-tokoh pergerakan dan pendiri bangsa seperti Mr Moh Yamin, Moh Hatta, Soekarno, R Soepomo, KHA Wahid Hasyim, Ki Hajar Dewantara, KH Ahmad Dahlan, KHM Hasyim Asy’ari, KH Kahar Muzakir, H Mutahar, Dr Soetomo, KRT Sosro Kartono, dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu adalah santri, siak, ungku, tengku, kiai, Abah, buya, romo, tuanguru yang lahir dari lembaga pendidikan yang sama.
Bahkan, Sunaryo, tokoh pemuda yang menggerakkan 70 orang pemuda dalam Sumpah Pemuda 1928 adalah seorang santri yang di kemudian hari menjadi Rektor di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam pendapat R Soepomo, bentuk negara Republik Indonesia yang dicita-citakan adalah egaliter. Mengambil falsafah Jawa “Manunggaling kawula lan gusti”. Tidak ada filosofi kesetaraan tanpa kasta demikian kecuali di pesantren.
Pesantren menurut Buya Said adalah pusat peradaban, pusat ajaran moral, pusat pendidikan, pusat keagamaan, dan seterusnya.