Meskipun tidak secara formal, disiplin kritik terhadap tafsir Al Quran sudah ada sejak awal penafsiran muncul. Beragam jawaban dari pemaknaan sudah otomatis menjadi kritik satu dengan yang lainnya. Misal, kata ثلاثة قروء، pengertian “tiga kali masa suci” dengan “tiga kali masa haid”, sama-sama memiliki makna yang sah dalam penafsiran kata tersebut. Meskipun, masing-masing makna bisa saling menegasikan diri. Artinya, yang berpendapat “tiga kali masa suci” merupakan kritik terhadap pendapat “tiga kali masa haid”. Dari kritik-kritik tidak sengaja itu, kemudian muncul upaya verifikasi dan validasi dengan berbagai macam metode.
Khazanah yang Asing
Kritik atas penafsiran atau tafsir, khususnya Al Quran, tidak sepopuler pada kritik susastra, kritik sosial, dan kritik pemikiran (filsafat). Meskipun, kritik terhadap tekstualitas Al Quran tumbuh subur di Barat. Mulai dari sejarah pembukuan (kodifikasi) hingga konten atau isinya. Namun, umat Islam belum sepenuhnya menerima dengan terbuka untuk membicarakan kritik sebagai ilmu tersendiri, karena kritik lebih identik dengan sebutan “ilmu setan” atau ilmu bapaknya setan, “iblis”. Hanya iblis dengan kesombongannya (إبى واستكبر) yang berani menentang dan mengkritik Allah dan Nabi Adam. Sehingga, sarjana-sarjana belakangan sering menyebut telah terjadi pengkultusan terhadap sebuah pemikiran/tafsir (تقديس الفكر).
Lebih celaka lagi, kritik tafsir sering keluar dari teks dan konteks yang dibicarakan. Sehingga terbentang jarak yang jauh “bain al sama’ wa sumber minyak”. Jauh panggang dari api. Kritik semacam ini sering terjadi dan terus terjadi, karena bersifat menurun. Paling tidak, diambil jalan dari aspek-aspek konklusif. Kesimpulan yang mudah disimpulkan. Dalam pengertian, tafsir menjadi subordinasi dari redaksi teks. Akan sulit ditemukan, jika tafsir memiliki kesetaraan atau minimal kedekatan makna dengan redaksi teks.
Kajian yang Serius
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan manusia di zaman sekarang, umat Islam tidak bisa memandang dan merasa jauh lebih rendah dari peradaban suku-bangsa lain. Negara-negara Barat maju dengan teknologi sehingga membuat terpukau. Padahal, manusia Indonesia mampu membuat bakso dan nasi goreng yang belum tentu bisa dibuat oleh orang-orang Barat.
Kajian-kajian serius ilmu pengetahuan secara khusus sering mengabaikan peran-peran pemeluk agama yang suka membangun konflik. Karena, tafsir-tafsir mereka. Bahkan, mereka lebih tegas menyebutkan diri atheis agar tidak terjadi campur tangan lebih jauh terhadap kerja-kerja mereka. Bagi mereka, penafsiran adalah asumsi yang bisa benar dan bisa salah. Hal yang sama sekali tidak bisa diterima oleh kalangan penafsir. Dan, uniknya, sesama penafsir juga sering saling kritik dan menyalahkan.
Perintah Allah Taala kepada Iblis dan malaikat adalah untuk bersujud, bukan memberikan penilaian atas perintah tersebut. Namun, apa yang terjadi? Iblis memberi penafsiran, sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surat Al A’raf ayat 12;
قَالَ مَا مَنَعَكَ اَلَّا تَسْجُدَ اِذْ اَمَرْتُكَ ۗقَالَ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُۚ خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّارٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْنٍ
(Allah) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”