Bagi kalangan akademisi, untuk mengenal sepak terjang sosok presiden pertama RI ini adalah melalui karya-karya tertulisnya sebagaimana pandangan sejarawan Barat umumnya yang menganut paham materialisme-historis. Penyajian sejarah (historiografi) harus dibuktikan secara fisik, baik berupa gambar atau manuskrip. Adapun saksi sejarah dimungkinkan bisa dijadikan rujukan apabila bukti-bukti gambar dan manuskrip tidak bisa didapat lagi.
Masa Kecil sebagai Santri
Spiritualitas bersifat abstrak sehingga sulit untuk dibuktikan secara historiografi. Namun, bukan berarti historinya tidak ada. Demikian pula dengan Bung Karno.
Jejak-jejak Ir Soekarno atau Kusno (nama kecilnya) selain di Blitar, Tulungagung, dan Kediri, pernah pula nyantri di Pesantren Kedungturi kepada Mbah Kiai Cholil Blaru. Pesantren Kedungturi tersebut berada di sebelah Selatan Pesantren Tebuireng, masuk Kecamatan Badas, Kabupaten Jombang. Berbatasan dengan Kecamatan Pare, Kediri. Di wilayah Pare ini pula, ditemukan makam atau kuburan Tan Malaka. Tokoh penting pergerakan nasional, sahabat kental KHA Wahid Hasyim.
Di Pesantren Kedungturi inilah, Bung Karno menimba ilmu-ilmu kepesantrenan. Jadi, kalau ada anggapan Bung Karno penuh dengan klenik, hal tersebut bisa diterjemahkan tersendiri ke dalam pemahaman dan keyakinan budaya yang hidup pada masanya. Begitu pula, nasionalisme Bung Karno tidak pernah mengabaikan keyakinan agamanya.
Sebagai sosok yang pernah mengenyam pendidikan pesantren, Bung Karno tidak memiliki hanya satu guru saja. Ia dekat kepada kiai-kiai pesantren seperti Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari (Pesantren Tebuireng), KH Mahrus Ali (Pesantren Lirboyo), KHA Wahab Chasbullah (Pesantren Tambakberas), KH Muhammad Yusuf Jakarta, Datuk Mujib Bone (wafat di Jakarta), serta RMP Sosro Kartono (kakak RA Kartini, pengamal thariqah Syattariyah), dan masih banyak lagi.
Kebangkitan Kaum Santri
Indonesia atau Nusantara adalah negeri parasantri. Kata-fakta santri dapat ditemui di berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai sebutan. Mulai dari kata siak, lebai, modin, guru, ustad, kiai, ajengan, tuanguru, ungku, tengku, dan lain-lain; semuanya merujuk kepada kaum santri. Kaum yang taat agama. Kalaupun ada yang tidak taat agama, itu belakangan ini saja. Sejak zaman Belanda. Sejak menjadi sekuler atau atheis.
Adapun perbedaan mencolok di ranah politik praktis, mereka memiliki visi sendiri-sendiri. Namun, tetap berjiwa santri. Jadi, jauh sekali anggapan Clifford Geertz atau sarjana-sarjana peneliti sekuler dari Barat yang menyebutkan tipologi abangan, priyayi, dan santri jauh dari spiritualitas agama. Seperti HOS Tjokroaminoto yang terlahir dari keluarga Pesantren Gebangtinatar (Ponorogo), Ki Hajar Dewantara (putera kiai di Prambanan), begitu pula Bung Hatta (putera seorang guru thariqah Naqsyabandiyah di Sumatera Barat). Jejak-jejak spiritual paratokoh ini seperti sengaja dihilangkan sehingga ketika berbicara ideologi, murni ideologi. Jauh dari sentuhan agama. Dan, terkesan sekuler. Meskipun, Muso dan DN Aidit mengusung ideologi komunisme (sering pula dikonotasikan atheis), latar belakang keluarga mereka juga dari kalangan terdidik secara agama.
Maka, tidak salah, jika kemudian KH Badiowi Lasem memberi gelar Presiden Soekarno dengan “Waliy Al Amri Al Dlaruri bi Al Syaukah” (ولي الأمر الضروري بالشوكة). Pemegang otoritas yang bersifat sementara dengan kekuasaan penuh. Mobilitas penuh dengan keyakinan seorang santri yang kelak dikenal sebagai “Putera Sang Fajar”.
Kemerdekaan Indonesia adalah anugerah sekaligus Mukjizat Katulistiwa bagi suku-bangsa Indonesia yang beragam suku dan bahasa. Begitu pula, dengan Pancasila sebagai rahmat dan nikmat dalam menjalankan agama dan mempersatukan bangsa. Kebangkitan nasionalisme pada hakikatnya adalah kebangkitan kaum santri, bukan kebangkitan kaum sekuler.