Saya tidak menafikan, mengabaikan, uang sebagai salah satu modal pokok dalam perputaran ekonomi. Sejarahnya cukup primitif untuk dibicarakan. Tapi, yang ingin saya tekankan adalah: berpikir semata uang hanya akan melanggengkan kekuasaan penjajahan. Artinya, ketika berpikir modal, jangan sekali kali melupakan siklus ekonomi yang sedang berlangsung diantaranya adalah potensi diri dan kesehatan, ikatan persaudaraan, bahkan relasi antarkelompok. Dalam berita misalnya dapat dibaca bagaimana komoditas sawit dapat ditukar dengan pesawat tempur, tidak dengan membeli pakai uang. Ada banyak turunan yang lain, yang masih bisa didiskusikan secara panjang lebar.
Barangkali, hal ini cukup untuk menjelaskan konsep “kewirausahaan sosial”.
Apakah hal ini akan membawa pola dan perilaku kehidupan ekonomi kita kembali ke zaman primitif dengan sistem barter?
Dalam berekonomi tidak ada kata primitif atau modern yang berlaku secara saklek. Seorang manager bisa saja menerapkan sistem paling konservatif guna mempertahankan dan menyelamatkan sebuah usaha dalam kasus kasus paling krusial. Seorang sopir bis bisa mengambil tindakan paling preventif untuk menyelamatkan penumpang yang dibawanya sebagaimana dijelaskan dalam sebuah kaidah fiqih. Boleh menabrak satu orang di depan untuk menyelamatkan 30 atau 50 orang di dalam bis. Artinya, segala kemungkinan bisa saja terjadi.
Sayangnya, kampanye uang terjadi di mana mana, baik berupa pinjaman lunak hingga rente. Hal yang pernah disampaikan oleh Ahmad Tohari (AT), penulis novel “Ronggeng Dukuh Paruk”, secara langsung kepada saya beberapa tahun silam. “Kapitalisme dengan wajah yang lebih ramah dan lembut”. Kita dihadirkan dalam sebuah siklus yang serba mudah.
Padahal, pada masa pandemi yang lalu, ada banyak masyarakat urban yang meminta bantu kiriman logistik dari kampung halaman berupa beras. Bukan bantuan berupa uang.
Pada visi ini, perlu diupayakan kerja kerja dengan prinsip prinsip kebersamaan dan gotong royong dalam upaya meningkatkan kolaborasi antarkelompok, antarkomunitas yang saling mendukung. Sehingga diperlukan upaya upaya konkrit untuk mengisi jadwal yang bersifat lebih komprehensif dan tepat sasaran. Walhasil, perlu tindakan yang harus dilakukan oleh sebuah “sistem sosial” yang masih mapan.