Cinere-Net26.id, 21/7/2023. Mengutip dari ujaran almarhum Gus Sholah (KH Salahuddin Wahid), bahwa pesantren memiliki potensi yang sangat besar. Hal ini dapat diartikan pada potensi budaya, seni, pendidikan, pemberdayaan, ekonomi, teknologi, hingga industri yang dimiliki oleh pesantren. Sebagaimana Pesantren Tebuireng sudah membangun Pesantren Trensains yang khusus mendalami teknologi.
Senada dengan ujaran almarhum Gus Sholah tersebut, Buya Said Aqil Siroj pernah menyatakan di Pesantren Plosomojo, Kediri, kalau pesantren memiliki kekuatan social kapital yang tidak bisa dianggap remeh. Dengan social kapital yang besar itu, pesantren hingga kini, dari masa ke masa, tetap mampu bertahan meskipun ekonomi sedang diterpa krisis.
Tanpa direncanakan terlebih dahulu, pertemuan mendadak antara Ibu Hj. Nina Aprinina Triastuti (selanjutnya ditulis Ibu Hj Nina) dan Gus Uki (K.H. Uki Marzuki) di Griya Bestari, Cinere, telah membawa angin segar bagi pemikiran pemikiran baru yang bisa menjadi spirit bersama, terutama di bidang ekonomi umat dan pesantren. Pertemuan tersebut berjalan gayeng dengan disela-selai humor, kendati tetap fokus pada pokok pembahasan. Terdapat fakta-fakta sosial dari keduanya yang perlu disikapi secara bersama seperti UMKM dan sampah plastik.
Melalui UMKM, masyarakat pada dasarnya mampu mencukupkan diri secara swadaya di dalam memenuhi kebutuhan kebutuhan mereka sehingga diperlukan pendampingan secara intensif. Hak hak mereka harus dilindungi secara hukum. Oleh karena itu, menurut Ibu Hj Nina, ia sedang mempersiapkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang fokus menangani UMKM tersebut.
Di bidang lingkungan, perhatian Ibu Hj Nina terdorong oleh kepekaan sosial puterinya, Nilam Zubir. Diceritakan olehnya, Nilam Zubir semasa kecil pernah bermain di lingkungan pemulung sampah. Ibu Hj Nina khawatir puterinya tidak memiliki kekebalan tubuh (imunitas) yang sama dengan para pemulung. Kekhawatiran tersebut membawa rasa bersalah, karena menjumpai anak anak pemulung yang tidak sekolah. Sehingga dua kakak Nilam Zubir, Adri Zubir dan Miftah Zubir, kemudian membuat survei kecil kecilan, mencari sebab anak anak tersebut tidak bersekolah.
Tidak berhenti di situ, perhatian Nilam Zubir pada sampah plastik di kalangan pemulung tersebut terus berlanjut hingga ia besar ke dalam gerakan mandiri “Sedekah Sampah Plastik” yang kemudian tertuang di dalam bukunya. Nilam Zubir membeli dan menitipkan plastik besar untuk menampung sampah sampah plastik di lingkungan perumahan Griya Bestari hingga ke kantor kantor pemerintah. Bagi Nilam Zubir, kepedulian pada sampah plastik adalah bentuk sumbangannya untuk bangsa Indonesia. Ide luhur ini tidak saja mengajak masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan dan menjaga lingkungan semata, namun lebih dari itu untuk menanamkan semangat beribadah sosial melalui sedekah dari barang yang dianggap tidak berguna.
Sementara itu, Gus Uki yang kini menjabat Ketua Kadin Kabupaten Cirebon memberikan pandangan dan pengalamannya selama menggeluti dunia UMKM dan sampah plastik. Gus Uki telah membina beberapa pesantren di Cirebon dan mendirikan usaha usaha rintisan di Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Dengan harapan, pembangunan ekonomi umat dan pesantren akan dapat dikerjakan secara lebih intensif dan sistematis. Tidak berjalan sendiri sendiri. Karena, ia sangat merasakan: hanya pesantren yang masih memiliki stake holder yang militan. Kepatuhan para santri kepada sang kiai menjadi modal utama untuk menggerakkan ekonomi, budaya, dan lingkungan masyarakat di sekitar pesantren. Sebanyak 36.000 pesantren belum seberapa bila dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia.
Maka, tidak heran, jika kemudian Buya Said Aqil Siroj menyebut pesantren memiliki social kapital. Pada sosok kiai-lah, personal guarantee menjadi jaminan kesuksesan lingkungan di sekitarnya.