Indonesia kaya akan macam macam kuliner. Hal ini disebabkan karena budayanya tidak tunggal. Sehingga setiap percampuran (akulturasi) antarsuku-bangsa menghasilkan kreasi baru, termasuk kuliner. Persinggungan antarsuku-bangsa yang paling banyak seperti di kota-kota besar dapat menghasilkan ragam kuliner paling banyak.
Di antara kuliner paling digemari adalah daging sehingga diperlukan cara cara pengawetan untuk digunakan dalam jangka waktu yang lama, baik melalui pengasapan, didendeng, atau direbus dengan dicampur dengan aneka ragam rempah rempah seperti rendang. Rendang adalah cara orang Minang mengawetkan daging agar bisa dibawa merantau hingga ke tempat yang jauh dan bertahun tahun lamanya.
Pada mulanya, rendang hanya berlaku di kalangan suku Minang saja. Dengan menggunakan jenis kelapa yang khusus, rendang yang dibuat orang Minang memang memiliki citarasa berbeda. Tidak sama dengan hasil yang dibuat oleh selain orang Minang. Ini menjadi unik dan identik. Baru belakangan, setelah warung warung Padang mulai tersebar di berbagai tempat, baik di dalam maupun di luar negeri, dan lidah masyarakat pada umumnya sudah akrab dan familiar dengan citarasanya, rendang menjadi salah satu kuliner favorit Nusantara. Dan, masyarakat secara umum sudah bisa membudayakan makan rendang setiap hari dan setiap saat, tanpa membedakan latar belakang kesukuan.
Perkembangan rendang terus berlangsung seiring sejarah. Pada zaman dahulu, rendang dibuat dari daging kerbau dan diolah hingga menjadi hitam warnanya. Dimasak berhari hari. Kini, tidak saja daging kerbau, bahkan telah menggunakan daging sapi dan ayam. Bentuknya pun bisa berupa potongan potongan besar dan kecil hingga cincang.
Oleh karena daging cepat mengalami kerusakan, penanganan produk daging melalui rendang ini dapat diawetkan dalam jangka waktu tak terbatas. Hanya saja, apabila dikemas melalui pengalengan, jaminan kesehatan untuk mengonsumsinya kian dapat dipercaya.
Menurut Biro Pusat Statistik pada 2002, makanan produksi kalengan kian meningkat dari tahun ke tahun. Dengan sendirinya, pengalengan rendang berbahan daging memiliki prospek yang cerah dan menjanjikan.
Adapun tahapan tahapan proses pengalengan rendang meliputi sortasi, pencucian, pemotongan, pre-cooking, penirisan, pembuatan larutan media, pengisian, penimbangan, exhausting, penutupan kaleng, sterilisasi, pendinginan, inkubasi, pemberian label dan pengemasan.
Bertempat di Pondok Pesantren Riyadus Sholihin, Desa Cidahu, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, telah disediakan lahan seluas 6 hektar untuk pengembangan pertanian, peternakan, dan usaha usaha pesantren lainnya. Diharapkan akan dapat didirikan pabrik pengalengan rendang berbasis daging dalam skala besar guna pengembangan ekonomi pesantren.
Direncanakan, pengurus Pondok Pesantren Riyadus Sholihin akan menggaet investor dalam pendirian pabrik. Menurut Gus Eko Priyanto, salah satu pengurus pesantren, Pondok Pesantren Riyadus Sholihin tidak berbasis madrasah lughah dan madrasah Al Quran saja, melainkan akan menciptakan madrasah muamalah dalam menciptakan lapangan lapangan ekonomi, terutama industri pengalengan daging rendang. Dengan demikian, Pondok Pesantren Riyadus Sholihin akan menjadi sembada, kuat dan mandiri di bidang ekonomi.
Kalkulasi sementara produksi pengalengan rendang di Pondok Pesantren Riyadus Sholihin ini adalah:
Selengkapnya, poses pengalengan ini akan menggunakan bahan baku 2.500 kg/hari dan jumlah produksi 17.075 kaleng/hari. Total Modal Industri (TCI) yang dibutuhkan sebesar Rp 12.886.350.900 dengan biaya produksi total (TPC) Rp 46.820.668.700,-. Laju pengembalian modal (ROR) sebelum pajak adalah 34,18%, laju pengembalian modal (ROR) sesudah pajak adalah 24,06%. Waktu pengembalian modal (POT) sebelum pajak adalah 2 tahun 8 bulan sedangkan POT sesudah pajak adalah 3 tahun 8 bulan. Titik impas (BEP) untuk pabrik pengalengan rendang daging ini adalah 46,33%.
Dilihat dari besaran projek ini, Pondok Pesantren Riyadus Sholihin juga akan melibatkan masyarakat di sekitar pesantren dengan pola usaha mikro , kecil, dan menengah. Sehingga untuk pengadaan bahan daging misalnya bisa melibatkan masyarakat di bidang teknologi pertanian dan peternakan.
Berarti, pesantren sembada secara otomatis melakukan pemberdayaan masyarakat di sekitar pesantren dengan produksi produksi turunannya yang akan dikaji lebih lanjut.