“Cuma sampean bisa menulis cepat, Cak!” ungkapnya, melalui japri WA, setiap meminta tulisan. Gus Ipung (Saiful Hijar) terlebih dahulu memberi tema dan kisi-kisi bahasan yang harus ditulis. Dan, dia senantiasa merasa puas.
Mungkin pujian atau caranya untuk membesarkan hati dengan ungkapan tersebut.
Tapi, bagiku, sama saja. Antara dipuji dan tidak. Realitas memang berbicara begitu. Terlalu banyak alumni yang berstatus sarjana, bahkan sudah level S3, masih susah untuk menuangkan gagasan dan pikiran ke dalam bentuk tulisan. Dan, Gus Ipung merasakan kesulitan itu. Dia merasa hampir putus asa setiap meminta sumbangan tulisan. “Seperti nagih hutang,” mungkin, itu yang hendak disampaikannya kepadaku.
Aku hanya merasa berkewajiban untuk menemaninya membuat majalah itu. Karena perintah kiai, maka tidak ada alasan untuk menolak atau sengaja menghindar. Memang, tulisan-tulisan yang kukirim kepada redaksi yang digawangi oleh Gus Ipung tidak sarat ilmiah. Hanya sepenggal-sepenggal pengalaman dan cerita-cerita ringan. Pikirku, yang penting cair dulu. Bahasa ringan dan mudah dimengerti pembaca. Kalau bersifat bacaan-bacaan berat sudah banyak buku berat di perpustakaan atau dengan mengaji kitab kuning. Mereka sudah lelah dan butuh tulisan ringan yang menghibur sekaligus mendapat wawasan.
Soal otentikasi, menulis tentang diri atau pengalaman semasa mesantren adalah lebih otentik. Karena, bersifat pengalaman itu. Tapi, mengapa dengan tulisan yang ringan-ringan saja masih susah mendapatkan sumbangan tulisan?
Seharusnya seorang santri memiliki pengalaman menulis yang panjang. Mereka bertahun-tahun bergelut dengan kitab kuning. Kadang disuruh membaca (bandongan dan sorogan) dan kadang pula disuruh menulis (kitabah). Seharusnya, dalam asumsi Gus Ipung, dari sekian ribu alumni dan bergelar sarjana, pasti mereka akan dengan ringan tangan menyumbangkan tulisan.
Tapi, itulah kenyataan yang dihadapi Gus Ipung. Tetap saja kesulitan mendapatkan tulisan. Hingga, jika sudah mentok, labuhan terakhirnya padaku.
Akupun tidak berkehendak jumawa. Kalau sekadar menulis tulisan ringan setengah jam atau lebih sedikit dapat dengan cepat menghasilkan tulisan. Kalau agak lama, paling hanya merangkai pikiran yang logis.
Gus Ipung pribadi yang tertib. Dia telaten. Dia seperti lazimnya tradisi di MQ Tebuireng membuat SK untuk susunan pengurus majalah yang ditandatangani oleh pengasuh langsung. Semestinya, tidak terlalu rumit demikian, tapi tertib administrasi merupakan awal dari tertib manajemen. Tiga tahun lebih, Gus Ipung menekuni penerbitan majalah. Aku tahu jerih payahnya. Di samping, kesibukannya dengan menunggui setoran hapalan paramuqaddim serta kesibukan bolak balik mengajar di Surabaya dan Tebuireng.
Detik-detik Kepergian
Sejak pagi, ia masih melakukan aktivitas yang menjadi rutinitas kesehariannya. Pagi, ia masih menunggu setoran di tempatnya mengajar Al Quran, kemudian melanjutkan khamil Quran di kediamannya dalam rangka memperingati pendak 1 tahun ibu mertuanya.
Menurut kesaksian beberapa partner yang juga ikut hataman, dia tampak semangat pada saat mengaji.
Sebelumnya, tidak tampak gejala yang berarti sama sekali pada saat awal-awal mengaji. Namun, saat di tengah proses khatmil Quran, menjelang dhuhur, ia sempat “sambat” merasakan sakit di dadanya. Iapun disuruh beristirahat terlebih dahulu oleh partner yang menemaninya hataman.
Dia beristirahat ketika sang partner yang menemaninya hataman selesai melaksanakan sholat dhuhur di masjid Ampel. Pada saat sang partner kembali ke rumah Cak Ipung (biasa namanya dipanggil), seketika di rumahnya sudah ramai oleh tangisan haru.
Keluarganya merasakan kehilangan Ahlul Quran yang selalu menyibukkan diri dalam melafalkan, mengamalkan, serta memperjuangkan isi kandungan ayat-ayat Al Quran.
Sebelum proses tahapan pemandian jenazah dilakukan, keluarga yang di Surabaya masih menunggu kedatangan keluarganya yang dari Jombang.
Ketika usai pemandian jenazah, sholat jenazah dilakukan di Masjid Ampel tepat sebelum sholat jama’ah Maghrib berlangsung.
Bersama keluarga serta para jama’ah, keranda almarhum Cak Ipung dipindahkan ke mobil jenazah untuk dimakamkan ke kota tempat kelahirannya, Kabupaten Sumenep.
Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah swt.
اَللهُمَّ اغْفِرْلَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ