Buya Syakur Yasin memiliki dimensi penafsiran dan pemikiran tersendiri tentang tafsir kitab suci Al Quran. Hal ini berangkat dari latar belakang pendidikan, pergaulan, serta pengalaman yang luas sehingga memiliki corak berbeda dari penafsir-penafsir Al Quran Indonesia lainnya seperti Buya Hamka dengan karya Tafsir Al Azhar serta Buya Quraish Shihab dengan Tafsir Al Misbah.
Bagaimanapun, sebuah genre memiliki genetika dan ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh yang lain. Genre adalah pengalaman kognitif seseorang, bukan aliran, dalam menyerap ilmu dan pengalaman. Namun, kebanyakan ilmuwan sering mengidentikkan genre adalah sebuah aliran. Hal ini sungguh sangat disayangkan. Genre dalam beberapa pandangan yang sering hadir pada kalangan penafsir-penafsir ayat suci Al Quran yang tiba-tiba muncul bak jamur di musim hujan, genre aliran tersebut sering pula menjadi identitas bagi kalangan susastra Indonesia yang cenderung rapi dan necis. Sehingga begitu gampang seseorang menjadi mufassir atau sekadar sastrawan.
Wewenang Manusia Menafsirkan Kalam Tuhan
Manusia, khususnya umat Islam, pada dasarnya tidak memiliki wewenang untuk menafsirkan ayat-ayat suci Al Quran. Karena, wilayah tersebut merupakan hak prerogatif Allah Taala.
Namun, posisi tersebut pernah direbut oleh Iblis dan malaikat ketika Allah memerintahkan sujud kepada Adam sebagaimana firmanNya dalam surat Al Baqarah ayat 34;
وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ
Manakala Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir.
Sebelumnya, Allah Taala mengabarkan kepada Iblis dan malaikat tentang kehendaknya untuk menciptakan Adam sebagai khalifah, pengganti makhluk sebelumnya untuk mendiami bumi. Allah hanya memerintahkan Iblis dan malaikat untuk bersujud, tapi Iblis dan malaikat membangun persepsi sendiri dan membuat penafsiran lain dari titah perintah itu sebagaimana disebutkan dalam Al Quran ayat Al Baqarah ayat 30;
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Manakala Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh, Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka menjawab, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu; orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memujiMu dan mensucikanMu?” Tuhan pun berfirman (lagi), “Sungguh, Aku mengetahui semua yang tidak kamu ketahui.”
Dalam hal menafsirkan Al Quran memang sebaiknya setiap mukmin harus hati-hati, tidak sembarangan, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al Turmuzi menyebutkan larangan menafsirkan Al Quran dengan pengetahuan yang minim. Apalagi hanya mengandalkan terjemahan saja. Sebab, salah dalam menafsirkan Al Quran, ancamannya adalah neraka.
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهم عَنْهممَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ قَالَ أَبو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
(Al‑Turmuzi berkata): Mahmud bin Gailan telah menceritakan kepada kami, (Mahmud berkata); Bisyr bin Al Syari menceritakan kepada kami; Sufyan menceritakan kepada kami dari ‘Abd Al A’la dari Sa’id bin Jubair dari Ibn ‘Abbas ra; ia berkata; Rasulullah saw bersabda, “Siapapun yang mengabarkan Al Quran dengan tanpa landasan pengetahuan, maka selayaknyalah ia menempati tempat dudukya (yang terbuat) dari api neraka.” Abu Isa (Al Turmuzi) berkata, “Hadis ini hasan sahih.”
Dari hadis ini, paraulama lebih menyelisihkan persoalan “ra’y” sebagai sifat dari “tafsir” daripada tafsir itu sendiri. Bagi mereka, tafsir yang sering menggunakan akal serta hawa nafsu adalah yang dimaksud oleh hadis tersebut di atas. Sementara “menafsirkan” Al Quran tidaklah menjadi persoalan. Padahal, dari dialog Iblis dan malaikat pada ayat tersebut tampak jelas; Iblis dan malaikat telah menyanggah (manafsir) firman, perintah, dan kehendak Allah.
Pembumian Al Quran
Demikian, peringatan muncul bagi kalangan penafsir-penafsir Al Quran begitu ketat. Sebab, berkaca kepada masa lalu sebelum Islam lahir, terdapat banyak tafsir-tafsir yang kemudian merubah esensi kitab-kitab suci.
Buya Syakur Yasin dalam beberapa ceramahnya melalui kanal YouTube sering melontarkan satu gagasan yang asing di telinga masyarakat muslim Indonesia. Tanggapan demi tanggapi muncul, baik dari kalangan ulama sendiri maupun bukan. Namun, Buya Syakur tetap kekeuh dengan pendapatnya dan membuka diri untuk dialog-dialog konstruktif. Sayangnya, dialog-dialog yang diinginkan tersebut tidak pernah terjadi kecuali tanggapan-tanggapan balik secara parsial di media-media sosial.
Untuk itu, Buya Syakur Yasin mengambil langkah inisiatif sendiri untuk berbicara secara langsung dan dialogis kepada umat Islam Indonesia. Diharapkan, penafsiran hanya berlangsung pada level-level makna dialogis, apalagi sebuah penafsiran justis. Sebab, tafsir Al Quran versi ulama-ulama Indonesia memerlukan rasa dan citarasa tersendiri yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang Indonesia. Mereka memiliki pemahaman dan wilayah sendiri untuk berbicara tentang tafsir Al Quran, terutama dari aspek hukum (fiqh). Banyak penafsiran Al Quran yang bias dari fiqh.
Buya Syakur Yasin dengan pengalaman kognitifnya memiliki pandangan luas tentang susastra, sejarah, bahkan tasawuf. Pandangan ini sering memperhadapkannya dengan kalangan fiqh yang sering menggunakan logika-logika formal (manthiq). Logika yang sering digunakan oleh kalangan ahli Kalam dan ahli fiqh.
Tentu, sebagai seorang ulama, Buya Syakur Yasin tidak mengabaikan fiqh yang bersifat implementatif. Sebuah ilmu mustahil tidak bersifat implementatif karena akan juga dapat dimiliki dan dinikmati oleh kalangan awam. Jika tidak, maka perlu dipertanyakan aksiologi dari ilmu tersebut. Untuk mengetahui aspek aksiologi tafsir Al Quran yang disampaikan oleh Buya Syakur Yasin tersebut, maka diperlukan pemahaman khusus sesuai genre yang telah dibangun olehnya.
Buya Syakur punya trik-trik untuk itu.