Pada saat Koran Tempo mulai terbit, pengamat dan masyarakat menilai susastra dapat mewarnai dunia jurnalistik. Tentu, hal ini membawa asumsi, mungkinkah bahasa susastra yang simbolik dapat menghadirkan fakta?
Perdebatan Fiksi dan Fakta
Tidak ada salahnya jika sebuah berita yang merekam peristiwa disajikan dalam bentuk naratif. Dan, memang, untuk menjelaskan atau menghidupkan sebuah fakta dibutuhkan sebuah narasi. Hal sudah termuat dalam rumus jurnalistik 5W1H. Setelah didapatkan subjek pelaku peristiwa (who), tema apa yang disajikan (what), kapan peristiwa itu berlangsung (when), di mana peristiwa itu berlangsung (where), serta mengapa peristiwa itu terjadi (why), maka analisis tajam dibutuhkan untuk sebuah konklusi yang baik. Bagaimana peristiwa itu terjadi dan bagaimana kelanjutan atau akhir peristiwanya (how).
Yang membedakan, sebuah berita disajikan dengan susastra atau tidak tergantung pada penggunaan bahasa. Sejauh manakah bahasa simbolik memperlakukan kata-fakta untuk sebuah peristiwa kejadian? Jika bahasa simbolik tersebut dapat mengaburkan sebuah fakta, maka hal demikian tentu akan menjauhkan peristiwa dari fakta. Bahasa simbolik dapat digunakan dalam penafsiran-penafsiran yang kabur. Padahal, yang dibutuhkan oleh peristiwa adalah sebuah fakta. Sementara jurnalis pada dasarnya adalah pencari fakta dari sebuah peristiwa.
Pada Prinsipnya 5W1H
Meningkatkan mutu bahasa bukan perkara gampang. Susastra sementara dipercaya sebagai penyaji mutu dari aspek bahasa ini. Dan, beberapa media, baik cetak maupun elektronik, menyajikan opini-opini di luar sudut pandang atau memang berada di luar perkara atau peristiwa yang terjadi. Meskipun, tak jarang memiliki korelasi. Misal, sebuah wacana yang disajikan sebagai opini dalam menanggapi sebuah peristiwa kejadian yang memerlukan perangkat-perangkat tafsir peristiwa.
Peristiwa berlangsung “viral” dan sedang terjadi adalah kasus lembaga donor ACT dan pesantren di Jombang. Secara kebetulan, keduanya sama-sama mengusung identitas agama, yang satu lembaga keuangan dan yang satu lembaga pendidikan.
Dialog yang terjadi di sebuah televisi swasta menghadirkan dua orang narasumber. Pertama, seorang ustadz yang mencoba lari dari fakta dengan mengaitkan situasi sosial politik, sementara seorang lagi adalah aktivis terorisme yang coba menarik kepada fakta-fakta yang dimiliki oleh institusi negara.
Peristiwa kedua yang terjadi di Jombang juga melibatkan institusi negara, polisi dan kejaksaan. Yang jelas-jelas, menarik fakta ke dalam peristiwa. Soal salah benar, wallahu a’lam.
Artinya, dari dua peristiwa viral tersebut masih ada ruang narasi lain di luar peristiwa yang sedang berlangsung. Bedanya, dalam peristiwa ACT, sang ustadz coba menarik kepada grand desain peristiwa yang masih meraba-raba. Sementara peristiwa di Jombang juga coba ditarik pada grand desain peristiwa yang melibatkan pihak di luar wewenang peristiwa.
Dengan demikian, story telling merupakan salah satu langkah di dalam membidik sebuah peristiwa. Jurnalisme akan jauh lebih berkembang jika dapat menyajikan narasi dari sebuah peristiwa dengan cara yang lebih lengkap. Dengan kata lain, 5W1H akan dapat disajikan dengan fakta-fakta baru dari satu sudut baca yang berbeda.