Tuban-Net26.id Perjalanan menuju kota Tuban membuka kerinduan yang dalam akan tradisi sebuah desa. Hasil panen yang berlimpah menjadikan masyarakatnya ingin mengaktualisasikan rasa syukur atas nikmat yang diberikan. Pesan alam yang secara alamiah menjalar di dalam diri coba diterjemahkan menjadi alat budaya (tradisi) setempat sehingga identitas keberadaannya menjadi penanda sebuah era (zaman).
Karakteristik setempat terbentuk mengikuti struktur alam yang ditempati. Tanah, air, dan potensi yang ada adalah gambaran nyata siklus kehidupan (watak/sifat yang secara struktur menempel). Kemelekatan itu menjadi ciri kekhasan komunitas atau ekosistem daerah.
Budaya sebagai ruang jelajah sebetulnya berfungsi sebagai penyelaras komunikasi personal untuk mengurai dan menemukan fungsi dirii sendiri, orang lain, ataupun lingkungan.
Perkembangannya pun dibarengi karya kreativitas dan daya inovasi masyarakatnya untuk lebih mengenal potensi yang dimilikinya.
Budaya padi yang ada di wilayah Tuban, tepatnya di Kecamatan Plumpang mulai terlihat geliatnya seiring kepedulian penggiat budaya, sebut saja Bambang Budiono , yang dengan kecintaannya memulai “nguri-uri” budaya tersebut menjadi terangkat.
Pemuda bergerak Plumpang dan budaya padi dan wayang damen, merambah ke komunitas rumah baca pemuda bergerak Plumpang dengan beberapa kegiatan pembelajaran: mendongeng, tari, pantomim, dan membaca.
Alhamdulillah, kali ini bisa mampir budaya, berdiskusi perihal tradisi dan aktivitas literasi yang dijalaninya.
salam literasi
20 Maret 2022
***
Catatan Redaksi
Mampir Budaya adalah serangkaian kegiatan Amyn Chusen dalam memetakan beragam konsep dan bentuk literasi di Jawa Timur, khususnya kali ini di Kabupaten Tuban. Tanah kelahirannya.
Serangkaian ini menjadi basis data baru yang terus digelutinya sejak awal bekerja di Balai Bahasa, terutama di Jawa Timur.
Tentu, konsep literasi yang digagas olehnya masih memerlukan eksplorasi lebih jauh dan memakan waktu lama antargenerasi. Misalnya, pada persoalan pokok bahasa asli dalam rupa tuturan dan tulisan masih diperlukan satu bentuk kumpulan kamus yang ensiklopedik. Temuan-temuan tersebut akan sangat berarti bukan hanya sekadar bahasa yang hidup dalam realitas sejarah, melainkan lebih jauh pada perubahan-perubahan akibat dari perubahan konsep. Konsepsi manusia dalam literatur sejarah yang memiliki kekhasan dan kemelekatan setidaknya menjadi gambaran tidak sekadar identitas pengetahuan. Meskipun memang, literasi dalam hal ini memiliki peran penggalian pemahaman, setidaknya bagi sejarah pengetahuan bagi suatu kelompok komunitas yang tidak sekadar berpangku pada pola-pola rutinitas formal. Hal yang berbentuk informal pun sangat diperlukan sebagaimana citarasa “Soto Kerbau” di Kudus yang tidak dijumpai di tempat lain dengan kenyataan Soto Tuban.