Ketahanan ekonomi adalah salah satu pilar penyangga suatu negara. Dalam hal ini, Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid), Presiden R.I. ke–4 tidak begitu terpesona pada industri berskala besar seperti pembuatan pesawat terbang yang dilakukan oleh negara-negara Eropa, Amerika, dan Rusia. Jelas, hal ini melihat situasi dan kondisi keamanan finansial dan potensi-potensi sumberdaya yang dimiliki oleh Indonesia.
Dari segi keamanan dan kekuatan finansial, keterpurukan krisis keuangan (krisis moneter) pada 1998 jelas menampakkan ketergantungan rupiah terhadap matauang asing, terutama dolar. Bisa dibilang hampir mustahil apabila Indonesia larut dan turut ikut bersaing di dalam industri ini. Tapi, hal itu tetap sebuah kenyataan yang tak dapat dihindari hingga sekarang. Contoh yang paling konkrit dapat disaksikan adalah sanksi ekonomi yang ditimpakan negara-negara Sekutu kepada Rusia, berupa pemblokiran (embargo) transaksi keuangan melalui SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication).
Maka, sasaran alternatif yang bisa dilakukan oleh Gus Dur adalah industri kecil dan menengah sebagaimana kendaraan bermotor dan peralatan pertanian murah. Gus Dur memperbesar ruang ekonomi kecil dan menengah dengan fasilitas-fasilitas yang terjangkau. Bagi Gus Dur, mempertahankan daya industri (bukan daya beli) kecil dan menengah merupakan “seatbelt” wajib sebagaimana kaidah yang dikatakannya, “Tasharraf Al Imam Manuth bi Al Mashlahat Al ‘Aammah”. Regulasi pemerintah tunduk kepada kemaslahatan umum.
Yup, masyarakat pada umumnya tidak paham dengan istilah industri skala besar dan ekonomi yang bertumpu pada moneter (uang) secara teoretik sehingga merekapun tak mampu menjangkau pikiran melangit demikian. Meskipun setiap hari sejak awal berdiri negara, industri uang selalu menjadi pembahasan dari semua lapisan kelas masyarakat. Mulai dari pialang-pialang Bursa Efek hingga di warung-warung kopi dan keluarga. Uang adalah problem.
Padahal, industri uang atau keuangan adalah pokok persoalan pada ekonomi industri berskala besar. Dan, itu selalu dipaksakan.
Lalu, apakah negara tidak boleh berhutang?
Idealnya, negara tidak boleh berhutang. Yang boleh berhutang adalah parapelaku usaha. Mereka yang menjalankan roda perekonomian. Negara hanya penjamin bagi ruang-ruang investasi. Sebab, jika negara turut berhutang, maka pola pemerintahan akan berjalan seperti sebuah perusahaan.
Negara perusahaan (beserta hutang) ini menjadi model-model arahan yang diinginkan oleh banyak pihak di dunia, karena pembangunan akan didasarkan pada asas pertumbuhan (development). Padahal, pertumbuhan yang dimaksud adalah bukan pada industri dalam pengertian produktivitas, melainkan peningkatan pada daya beli melalui uang. Ekonomi diatur oleh uang, bukan ekonomi yang mengatur uang.
Pada tataran ekonomi mengatur uang, di sana terdapat pengaturan pada dana-dana sosial yang menjamin kemakmuran. Begitu banyak dana-dana sosial seperti asuransi, pengamanan jaring sosial, zakat, infak, shodaqoh, dan wakaf tidak menyentuh pada aspek industri barang dan kebutuhan yang diperlukan, baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan mementingkan industri uang, maka dengan sendirinya industri barang bukan menjadi hal yang pokok. Benturan ini yang menyebabkan Gus Dur harus berhadap-hadapan dan mendapat tekanan di dalam melakukan pemulihan ekonomi industri uang, bukan industri barang.
Cirebon, 21 Maret 2022.