Cirebon-Net26.id Seorang teman bertanya, “Agamanya apa, kok, bisa mengendalikan hujan dengan tepat waktu dari keinginan?”
Seorang teman lagi berkomentar, “Bagaimana mikirnya secara teologis? Apakah itu bukan syirik?”
Teman ketiga menjawab, “Tidak ada agamanya. Itu wilayah umum di luar media agama, artinya semua agama bisa melakukan hal itu.”
Dalam video yang diunggah di YouTube, Rara Isti Wulandari justeru memberi penjelasan dengan pendekatan saintifikasi Fisika, meskipun juga disebutkan olehnya dari sudut agama Islam dan Hindu.
Menurutnya lagi, ia berkomunikasi melalui gelombang suara. Gelombanglah yang mengatur peristiwa hujan itu.
Secara saintifikasi, baik manusia maupun binatang memiliki kepekaan terhadap gelombang. Hanya saja, ada yang peka dan ada yang tidak. Nah, Rara ini termasuk yang peka.
Pasalnya apa, kok, bisa peka? Binatang sebetulnya lebih peka dalam menangkap riak gelombang. Misal, kalau akan ada orang mati atau ada maling, anjing sering menggonggong. Ketika gunung akan erupsi, binatang-binatang akan berhamburan, tunggang langgang, lari turun gunung. Itu bukan tahayul atau khurafat, tapi kepekaan dalam menangkap gelombang.
Manusia sebetulnya bisa lebih unggul daripada binatang karena kemampuannya tidak saja menerima getaran gelombang, tapi juga mengelola gelombang itu. Kemampuan itu bisa dibangun melalui mantra, wirid, atau laku yoga dan meditasi.
Namun, kepekaan manusia bisa berubah seiring usia. Pada masa bayi, kepekaan akan sangat tajam, ketika beranjak dewasa kepekaan berkurang, tapi ketika sudah tua akan kembali lagi peka. Hanya saja perlu menjadi catatan, kepekaan itu bersifat positif yang dilandasi oleh tuntunan agama atau negatif karena liar? Tergantung pada kebiasaan si manusia.
Orang yang senantiasa terlatih, kepekaan itu akan stabil seperti Mbah Maridjan atau atau tokoh-tokoh agama yang rajin menjalankan ritual, tentu dengan tingkat frekuensi kepekaan yang berbeda-beda. Di samping, dengan bahasa “mantra” berbeda-beda pula.
Mengapa arah angin erupsi Merapi tidak berdampak ke selatan, melainkan ke utara? Jawabnya, karena memang gelombangnya dibendung dari selatan.
Ada kisah menarik, ketika ada satu tim videografi hendak menaikkan drone untuk mengambil gambar di Imogiri. Kata abdi dalem penjaga, “Tidak boleh kalau tidak ada izin keraton.” Namun, salah satu kru tetap nekat. Ia secara sembunyi-sembunyi tetap mengambil gambar.
Benar saja, drone hanya dapat menangkap gambar di luar area pemakaman, sementara tidak di dalam area. Kebetulan?
Tidak juga. Masih ada satu orang lagi dari tim yang bertugas melakukan wawancara pada sesepuh keraton. Sebelum wawancara, sang sesepuh banyak bercerita, kemudian berkata, “of the record, ya?” ketika mulai membahas persoalan yang dinilai rahasia.
Hingga sang sesepuh berkata, “Sudah.”
Orang dari tim yang mendapat tugas wawancara itu, sebetulnya membawa dua alat “recorder”. Satu ditunjukkan pada sesepuh kalau “recorder”-nya sudah dimatikan. Dan, satu lagi disimpan di dalam saku baju dengan kondisi “on”.
Ketika wawancara selesai, orang yang bertugas tersebut coba membuka rekaman hasil wawancaranya. Apa yang terjadi? Percakapan awal dan terakhir tetap ada. Tapi, antara kata “of the record” dan kata “sudah” si sesepuh hilang tak terekam. Nah, itu kehebatan si sesepuh dalam mengelola gelombang.
Lalu, bagaimana tinjauan teologisnya? Manusia diberi kesempurnaan “fi ahsani taqwim”. Manusia lebih mulia dari binatang untuk menggunakan akalnya sehingga gelombang pun bisa dikelola, tidak sebatas pasif seperti binatang. Dengan akal pula, manusia dapat membedakan antara sinyal dari Tuhan dan hanya sebatas dari alam semesta semata.
Di dalam berdoa, seseorang sering meminta didoakan oleh orang lain. Lalu, apakah tidak bisa berdoa sendiri? Ini soal gelombang. Mungkin, gelombang dan sinyal orang lain lebih kuat sehingga diperlukan. Dan, akal pun tahu, yang mengabulkan doa tersebut adalah Tuhan ataukah orang yang dimintai doa? Wallahu a’lam.
Cirebon, 21 Maret 2022.