Konon, seorang pemimpin dilahirkan dan dijodohkan dengan zamannya. Seorang pemimpin itu akan sejodoh dengan yang dipimpin, suatu ikatan kimiawi, baik disadari maupun tidak. Begitu pula, amanah kepemimpinan di era kebebasan digital memerlukan pamahaman sendiri untuk menilai karakter yang dimiliki oleh masyarakatnya. Amanah kepemimpinan di era kebebasan digital sedikit banyak telah membuat ruang terbuka untuk dinilai setiap hasil dari capaian capaian yang sudah dilakukan. Bukan saja pada aspek kegagalan dan keberhasilan, amanah kepemimpinan di era kebebasan digital juga dapat dilihat dari efek efek yang dihasilkan secara psikologis oleh masyarakatnya. (Redaksi).
رَبِّ قَدْ اٰتَيْتَنِيْ مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِيْ مِنْ تَأْوِيْلِ الْاَحَادِيْثِۚ فَاطِرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ اَنْتَ وَلِيّٖ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۚ تَوَفَّنِيْ مُسْلِمًا وَّاَلْحِقْنِيْ بِالصّٰلِحِيْنَ
Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang orang yang saleh (QS. Yusuf: 101).
Beliau, KHA Musta’in Syafi’ie, mengawali kajian tafsir dengan mengutip doa Nabi Yusuf as di atas.
Yang pertama, رَبِّ قَدْ اٰتَيْتَنِيْ مِنَ الْمُلْكِyakni perbedaan antara lafadh “ata” dan “a’tha” yang sama sama artinya memberi. Yai Tain menjelaskan bahwa lafadh “a’tha” memiliki sifat kepemilikan. Apa yang diberikan Allah kepada kita menjadi milik kita, misal nikmat nikmat yang telah kita rasakan seperti Islam, sehat, waktu, dan lain lain. Inna a’thainaka al kautsar. Sedangkan lafadh “ata” tidak memiliki makna memiliki. Seperti jabatan sebagai seorang raja yang dirasakan Nabi Yusuf as, itu bukanlah miliknya, melainkan titipan Allah swt. Oleh karena itu, jabatan setinggi apapun, janganlah bangga, tidak juga perlu dibela mati matian, karena itu bukan milik kita.
Yang kedua, وَعَلَّمْتَنِيْ مِنْ تَأْوِيْلِ الْاَحَادِيْثِۚ , bahwa Nabi Yusuf as juga diajarkan ilmu dan kecerdasan oleh Allah dalam membaca fenomena dalam arti yang luas, bukan hanya lihai menafsirkan mimpi. Artinya, seorang pemimpin juga harus pintar dan tanggap menghadapi perubahan perubahan yang ada, serta berani mengambil keputusan keputusan strategia. Nabi Yusuf as pun demikian, beliau bukan hanya menafsirkan mimpi Raja Mesir akan kedatangan 7 tahun masa paceklik dan 7 tahun masa penghujan, tetapi juga memprediksi kejadian di tahun ke-15 tentang bergantungnya penduduk dunia kepada pasokan pangan Mesir. Tsumma ya’ti min ba’di dzalika ‘amun fihi yughatsunnas wa fihi ya’shirun.
Yang ketiga, فَاطِرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ اَنْتَ وَلِيّٖ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۚ , inilah kekuatan sesungguhnya; yakni kekuatan Tuhan yang menguasai jagad raya. Nabi Yusuf as tahu betul bahwa tidak ada yang lebih kuat dan perkasa dibandingkan Allah swt. Beliau menjadikan Allah swt semata sebagai pelindung. Anta waliyyi fi al dunya wa fi al akhirah. Alhasil, masalah sepelik apapun dan kesedihan sedalam apapun, mulai dari ancaman pembunuhan oleh saudaranya sendiri, perbudakan, fitnah keji Zulaikha, sampai dipenjara selama belasan tahun pun kesemuanya berakhir selamat. Semangat inilah yang harusnya kita miliki sebagai pemimpin, baik pemimpin diri kita sendiri maupun pemimpin dalam suatu institusi. Jangan hanya iyyaka na’budu saja seng banter, tapi juga berikan Allah swt peran dengan iyyaka nasta’in seng bener.
Yang terakhir, تَوَفَّنِيْ مُسْلِمًا وَّاَلْحِقْنِيْ بِالصّٰلِحِيْنَ, happy ending yang selalu diharapkan semua orang. Kuncinya adalah berkumpul dengan orang orang sholeh. Jangan lari dan menghindar dari mereka karena kelak Allah swt akan memasukkan kita ke surga dan neraka secara berkelompok. Jika kelompok kita adalah orang orang sholeh, maka insya Allah, kita akan termasuk di dalamnya. Begitu pula sebaliknya.
Wallahul musta’an.
Ditulis oleh Bram Ibrahim Hakim