Jika merunut pada latar belakang sejarah manusia di Indonesia, menimbang presiden dari kalangan santri adalah bukan suatu kemustahilan. Hal ini bukan untuk membuat polarisasi antara nasionalisme dan religiusme, melainkan suatu tuntutan sejarah
Menimbang presiden dari kalangan santri merupakan upaya mendamaikan polarisasi yang selama ini senantiasa membuat hiruk pikuk politik sehingga upaya upaya pembangunan menjadi terhambat dengan alasan perbedaan antara nasionalisme dan religiusme. Sebab, pada dasarnya, yang menjadi problem pada ranah politik praktis sebenarnya adalah sekularisme. Upaya memisahkan religiusitas dari kehidupan praktis bangsa Indonesia. Sehingga seseorang yang berdiri pada ranah nasionalisme bisa mengklaim dirinya tidak religius dan boleh tidak santun dalam praktik praktik tingkah laku dan sebaliknya seorang yang berpandangan religius dianggap “terlalu alim” untuk terjun di dunia politik yang kotor. Padahal, kotor tidaknya dunia politik tergantung pada pribadi masing masing. Bukan karena agama atau ide spasial yang disepakati oleh bangsa dalam membangun negara dan menjalankan roda pemerintahan.
Penyebab polarisasi masyarakat menjadi abangan, priyayi, dan santri adalah seorang sarjana Amerika bernama Cliffort Geerzt (1926-2006). dari polarisasi tersebut kemudian lahir partai partai yang mengklaim diri sebagai pihak yang mengusung ideologi agama tertentu, nasionalisme, moderatisme, dan seterusnya. Maka, tidak heran, jika ideologi ideologi polarisasi tersebut menyebabkan perpecahan pada anak bangsa.
Menimbang presiden dari kalangan santri adalah mengembalikan posisi Pancasila yang selama ini terus mengalami delusi yang tak pernah selesai. Padahal, selama 77 tahun Indonesia merdeka, Pancasila merupakan ideologi perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan kata lain, Pancasila merupakan “way of life” bagi segenap bangsa Indonesia, bukan hanya dimiliki oleh sekelompok masyarakat atau rezim tertentu. Pancasila merupakan ideologi terbuka yang memiliki dasar dasar sekaligus pedoman bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila bukan merupakan “alat pemersatu” sebagaimana yang dikumandangkan pada masa lalu. Pancasila yang bisa ditinggalkan suatu waktu ketika sudah tidak diperlukan lagi dan bisa saja digunakan secara pragmatis oleh kalangan kalangan penganut liberalisme, kapitalisme, internasionalisme, maupun sekularisme.
Santri adalah masyarakat Indonesia secara keseluruhan yang memedomani segenap aktivitas kehidupan berdasarkan agama. Santri adalah warganegara Indonesia yang beragama, bukan sekelompok masyarakat yang melakukan aktivitas aktivitas di pondok pesantren masing masing. Santri memiliki corak dan warna yang beragam di kalangan masyarakat Indonesia dan dengan sebuatn macam macam, seperti kata “siak” bagi masyarakat Sumatera Barat dan Sumatera Tengah. Dengan kata lain, santri bukan monopoli pondok pondok pesantren. Santri adalah masyarakat yang melibatkan aktivitas aktivitas kehidupan dengan tatakrama, adat istiadat, sopan santun, dan berkehidupan yang jauh dari harmoni dan perbuatan perbuatan yang merusak.