Seperti pada tulisan tentang tafsir sebelumnya, pendekatan sejarah dan susastra menjadi penting atau darurat di dalam menafsirkan Al Quran. Karena, Al Quran adalah bahasa langit yang menyentuh perasaan manusia yang paling dalam. Sentuhan yang tidak memandang latar belakang suku-bangsa dan agama. Bahasa langit yang mempunyai Logos dalam lisan manusia (Arab). Dikatakan sebagai bahasa langit, karena Al Quran menurut kalangan Ahlussunah wal Jama’ah adalah Qadim. Abadi dan melekat kepada Allah Taala. Dengan ke-Qadim-an Al Quran tersebut, maka Al Quran merupakan Kalam Allah yang Tak Terkatakan. Tak bisa diucap oleh lisan-lisan manusia manapun apalagi sekadar ditulis yang dikurung oleh simbol-simbol huruf. Dari yang tak terkatakan tersebut, Al Quran memiliki hakikat ke-Qadim-annya.
Dalam kesempatan ini, Senin, 20/6/2022, Buya Syakur Yasin mengungkapkan kalau penerjemahan tafsir Al Quran Indonesia masih jauh dari harapan. Dengan alasan, pertama, Tafsir Indonesia masih ditulis oleh kalangan ahli fiqh, sehingga penafsiran pun tidak beranjak dari bias fiqh. Yang seharusnya, sebagai bahasa yang diperuntukkan bagi manusia, harus dibahasakan dengan bahasa manusia secara universal, terutama susastra.
Kedua, dengan bahasa manusiawi tersebut, susastra dan juga tasawuf, harus diungkapkan dengan bebas dan di luar batas koridor fiqhiyah. Al Quran harus dimengerti dengan cara lebih ekspresif bahasa manusia. Misal, menurut Buya Syakur, kata bismillah (بسم الله) tidak bisa diartikan “Dengan Menyebut Nama Allah”, melainkan cukup “Atas Nama Allah”. Begitu pula, kata Al Rahman (الرحمن dan Al Rahim (الرحيم) tidak bisa diartikan “Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”, karena kata Al Rahman dan Al Rahim tersebut satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan kata ‘Lagi”.
Pengertian demikian dianggap Buya Syakur jauh dari sentuhan susastra dan rasa kemanusiaan manusia.
Di samping itu, kalimat La ilaha illallah (لااله الا الله) juga tidak bisa diartikan “Tiada tuhan selain Allah”, tapi menurut Buya Syakur, ibarat orang jatuh cinta, ungkapan tersebut sama seperti kata ‘I love you” untuk mengungkapkan cinta dalam segalanya. Cinta yang tak terkatakan. Bagaimanapun cinta itu tidak bisa dibahasakan dengan kata-kata. Terus, kata Al Shamad (الصمد) dalam surat Al Ikhlas, mengapa diartikan “Tempat Bergantung”? Itu tidak cocok. Al Shamad itu artinya kokoh. Maha Kokoh.
Nah, karena jauh dari sentuhan susastra ini, tafsir Al Quran Indonesia masih jauh dari harapan agar menyentuh perasaan manusia secara lebih mendalam.
Demikian pula, jika Al Quran memang berbicara tentang fakta-fakta sejarah (kata-fakta), maka mengapa referensinya mesti dibatasi? Bagaimana caranya untuk menghadirkan fakta-fakta sejarah ketika Al Quran belum diwahyukan?