Ketika kami dulu nyantri di Madrasatul Quran (MQ) Tebureng, mayoritas guru-guru kami dahulu berwirausaha, baik dalam bentuk barang maupun jasa. Lokasi pesantren yang dekat dengan pasar Cukir telah memberikan kemudahan-kemudahan untuk sekadar belajar berdagang. Pasar Cukir di samping sebagai tempat favorit untuk acara “ngopi bareng” di sela-sela senggang waktu belajar memang menjadi sentra ekonomi bagi masyarakat di sekitar Tebuireng. Dan, uniknya, meskipun dalam skala desa, Pasar Cukir tidak pernah sepi siang dan malam dari limpahan berkah Pesantren Tebuireng, baik dari para peziarah dari berbagai daerah maupun oleh santri-santri pondok pesantren dan para mahasiswa Universitas Keislaman Hasyim Asy’ari (UNHASY).
Pada kisaran tahun 1997, guru-guru kami seperti Bapak KHA Syakir Ridwan, Bapak Dawam Abadi, Almarhum Bapak H Masyhuri Azhar dahulu mempunyai kios di pasar Cukir.
Selepas mengajar, mereka rutin mengunjungi kios mereka. Ada yang dikelola bersama istri mereka maupun oleh orang-orang kepercayaan.
Guru kami lainnya, Bapak Mukhtar Syafi’i dan Almarhum Bapak Zaini Turmudzi sukses dalam bisnis katering. Ada pula yang sukses di bidang percetakan dan penerbitan seperti Bapak Syihabuddin Raso.
Tradisi berwirausaha guru-guru MQ Tebureng masih lestari hingga sekarang, bahkan semakin beragam. Ada yang menggeluti bisnis laundry, rental mobil, butik, servis komputer hingga peternakan.
Apa yang dilakukan guru-guru kami secara tidak langsung memberikan teladan kepada murid-muridnya untuk berdiri tegak dalam bingkai kemandirian secara ekonomi.
Langkah guru-guru kami tersebut mengingatkan sebuah pesan yang pernah didawuhkan oleh KH Maimun Zubair, “Nak, kamu kalau jadi guru, dosen, atau kiai, kamu harus tetep usaha, harus punya sampingan biar hati kamu nggak selalu mengharap pemberian atau bayaran orang lain, karena usaha dari jasil keringatmu sendiri itu barokah.”
Seakan-akan ada kesinambungan, dawuh beliau jauh-jauh hari sudah dilaksankan paripurna oleh seluruh guru kami di MQ Tebuireng. Meskipun tidak sedikit anggapan masyarakat umum yang memandang kegiatan usaha tersebut menjadi negatif. Bagi mereka, kalau sudah menjadi guru atau kiai, ada semacam hukum sosial tak tertulis untuk tidak berwirausaha. Mungkin semacam kasta kalau guru atau kiai tidak boleh berbisnis dan jauh dari kepentingan-kepentingan duniawi. Total, menjadi guru atau kiai tidak boleh berbisnis. Titik! Karena, akan mencederai nama baik dan tugas mulia seorang guru atau kiai. Padahal, mereka juga manusia yang memiliki keluarga dan butuh kecukupan-kecukupan ekonomi. Akan lebih buruk lagi akibatnya jika hanya mengandalkan infak atau shodaqoh dari dana-dana sosial. Guru atau kiai bukan kasta dalam pandangan awam.
Oleh karena itu, semangat kemandirian secara ekonomi juga dibaca dengan sangat baik oleh pemangku kebijakan pesantren MQ Tebuireng dalam wujud yang lain, meskipun masih saja ada guru yang memendam perasaan sungkan ketika hendak mulai berbisnis.
Pada tahun 2006, MQ Tebuireng menginisiasi berdirinya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Lantabur. Hingga hari ini, BPRS Lantabur sudah memiliki puluhan kantor cabang dan kantor kas yang tersebar di berbagai kota di Jawa Timur.
Dengan adanya Bank ini, pesantren seolah semakin memudahkan para guru dalam mendapatkan modal berwirausaha.
Semoga langkah para guru dan pengelola pesanten MQ Tebuireng semakin mengokohkan jatidiri dunia pesantren yang terkenal dengan kemandiriannya dari berbagai aspek sejak dahulu kala. Dan, tak lupa, mampu merubah persepsi negatif masyarakat awam terhadap cita-cita kemandirian finansial ini.