Tidak tahu persis, apakah rekayasa benar dan tidaknya perdebatan antara Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Nuruddin Al Raniri, Walisongo dan Syekh Siti Jenar, merupakan konteks perdebatan serius sebagaimana sejarah formal mengatakan?
Ataukah hanya sebatas legenda saja? Wallahu a’lam. Agak disangsikan jika perdebatan formal Islam-Tasawuf dan Islam-Fiqh benar-benar terjadi. Kenyataannya, pengaruh Imam Al Ghazali kemudian menjadi begitu kuat di lembaga-lembaga pendidikan pesantren dan masyarakat umum Nusantara.
Tasawuf Falsafi sebagai Sumber Problem?
Tidak bisa dituduhkan kalau Tasawuf Falsafi menjadi sumber konflik Islam di Nusantara. Sementara pemikiran fiqh Imam Al Ghazali tidak bisa dikatakan sebagai fiqh an sich, fiqh referensial alais Yurisprudensial. Justeru, pada ramah filsafat antara tasawuf dan fiqh sama-sama mendapat tempat.
Intinya, fiqh yang berkembang atau tasawuf yang berkembang di Nusantara memang bercorak falsafi.
Hanya saja, corak falsafi seperti apakah yang benar-benar permanen bagi suku-bangsa Nusantara (Indonesia)? Konsep-konsep seperti istishlah atau istihsan adalah di antara corak+corak falsafi itu. Kontekstual. Sebagaimana pemikiran-pemikiran tekstual adalah ortodoks, tidak up to date, serta cenderung radikal. Dan, harus dipahami jika teks terlahir sebagai produk zaman.
Sehingga dapat dikatakan: yang dimaksud oleh Al Ghazali adalah melihat sebuah produk dari aspek prosesnya. Bagaimanakah sebuah produk diproses? Tentu, dengan melihat substansinya. Dan, problem itu benar-benar kronis. Darurat!
Keunggulan Imam Al Ghazali pada mulanya memang didorong oleh kegiatan filsafatnya. Ia mengenal seluk beluk filsafat sekaligus sistematikanya, di samping penguasaannya kuat dalam kasus perkasus yang sudah dirintis oleh parapendahulunya. Dari materi-materi kasus yang telah dibuat itu, baik dari kalangan thariqah (tasawuf) maupun fiqh, Imam Al Ghazali mampu membuat sebuah kompilasi (kumpulan, مجموعة) yang dimuatnya secara ringkas. Yang jika dilihat dari sudut susastra, tidak kalah mutunya dengan kitab suci Al Quran dalam mengumpulkan permasalahan-permasalahan kemanusiaan (kompleksitas problem). Karya-karyanya bisa menjadi teks inti (the core text) yang memerlukan penjabaran-penjabaran berbentuk tafsir-tafsir terperinci. Ketika orang berbicara thariqah ini dan thariqah itu, atau hukum ini dan hukum itu, seolah semua sudah termuat di dalam kitab Ihya Ulum Al Din. Dan, dari segi sistematika berpikir (teoretik) sudah dituangkan olehnya ke dalam kitab Al Mustashfa.
Namun, baik Al Quran maupun Ihya Ulum Al Din bukanlah sebuah akhir, karena manusia terus berproses dan menemui problem-problem zaman mereka sendiri. Manusia-manusia berikutnya memerlukan satu kompilasi baru, tentu, dengan metode dan pendekatan-pendekatan secara lebih kompleks.
Dekonstruksi Teks
Mungkin ide ini sudah basi karena sudah menjadi pembahasan dari masa lalu yang dekat. Namun, apalah artinya jika dekonstruksi itu tidak pernah benar-benar dibuat dan hanya menjadi wacana saja?
Pemahaman terhadap karya-karya warisan intelektual (turats) harus didekonstruksi untuk kaum muslimin yang sudah mulai cerdas pemahamannya. Jangan dikira dengan berjualan bid’ah, khilafah, takfiri, atau tauhid dan sunnah masih laku di zaman sekarang. Realitasnya, masyarakat jauh lebih cerdas. Mereka tidak akan terprovokasi oleh isu-isu picisan demikian.
Dengan kata lain, mendekonstruksi kemudian merekonstruksi adalah kerja-kerja besar budaya. Budaya adalah basis need masyarakat untuk tetap mampu bertahan di tengah masa-masa yang sulit. Tidak semua isi dari sebuah karya akan diambil atau diamalkan semua. Mungkin hanya sebagian saja. Misal, belajar kitab Ihya Ulum Al Din tidak semua dapat dipraktikkan dalam kehidupan untuk menjadi Ihya berjalan. Begitu pula Al Quran berjalan atau Alfiyah berjalan. Semua akan diambil hanya sebagian saja sesuai dengan kadar kemampuan. Tidak semua santri mampu menjadi Ihya berjalan, tapi setidaknya sebagian saja sudah jauh lebih dari cukup. Begitupun pendidikan di sekolah-sekolah yang hanya akan diambil sebagian saja.
Tapi sekali lagi, dari yang sebagian itu harus dapat untuk merekonstruksi kembali. Menciptakan teks-teks baru. Bagaimanapun sebuah teks adalah cermin suatu zaman, tapi dalam situasi ini sudah terlanjur banyak teks yang berseliweran. Membludak!
Mungkin hanya susastra yang bisa menyelesaikan tugas-tugas berat itu.