Ada sebagian orang berpendapat, Al Quran adalah sebuah sistem numerik. Ada hitungan Algoritmanya. Sedikit saja terjadi salah tulis, maka akan cepat diketahui. Karena numerik, dia menolak sejarah penulisan Al Quran yang menyebutkan jumlah ayat yang berbeda dari pendapat parasahabat Nabi Muhammad saw.
Al Quran dari Sudut Pandang Thariqah
Hal demikian menunjukkan kalau kaum muslimin lebih banyak berbicara pada ranah tafsir daripada Al Quran itu sendiri.
Al Quran itu yang Terbacakan (الذي يقرأه) kemudian ditafsirkan dan ditulis menjadi yang Tertulis/Terkatakan (الذي يكتبه أو الذي يقول له). Demikian, Al Quran yang bisa disentuh itu atau yang bisa dibaca teksnya itu adalah sebuah produk zaman. Nah, orang-orang thariqah tidak memandang demikian. Jangkauan bacaannya jauh lebih luas. Yang membicarakan Allah Taala itu menurunkan WahyuNya kepada umat-umat terdahulu, kepada Rasul-rasul yang berjumlah 313 orang itu (yang wajib diketahui 25 Rasul) adalah orang-orang thariqah. Belum lagi nabi-nabi yang berjumlah ribuan. Setiap kaum punya nabi sendiri-sendiri. Artinya, Allah Taala telah menurunkan banyak Wahyu dalam bacaan yang luas. Adapun yang Tertulis dan yang Terkatakan itu hanya sebagian saja.
Orang-orang thariqah memerlukan pengalaman-pengalaman spiritual (tajribah) secara empiris. Kalaupun sekarang Allah Taala sudah tidak menurunkan nabi dan rasul lagi sebagaimana Muhammad saw adalah nabi dan rasul penutup, maka bukan berarti Allah Taala tidak memberikan lagi Wahyunya. Hanya saja, orang-orang thariqah punya pandangan dan sikap tersendiri. Yang berbeda dengan pandangan-pandangan akademis yang sering membuat polarisasi dan tipologi.
Empat Makna Budaya
Ketika menyangkut masalah budaya menurut Buya Said (KH Said Aqil Siroj), orang-orang suku-bangsa Arab akan mengaitkan kepada empat makna umum yang digunakan. Kata budaya sendiri atau orang Indonesia sering memberi padan kata “kultur” dari bahasa Inggris, “culture”, memiliki empat padan kata dalam bahasa Arab. Empat kata padan tersebut adalah tsaqafah (الثقافة), tamaddun (المدون), hadlarah (الحضارة), dan adab (الأدب). Masing-masing merupakan konsep sekaligus memiliki bidang garapan sendiri-sendiri. Jika tsaqafah berkaitan dengan ilmu dan pengetahuan, tamaddun berkaitan dengan hukum-hukum dan adat istiadat, hadlarah berkaitan dengan gaya bangunan dan arsitektur bangunan, maka adab berkaitan dengan susastra dan bahasa. Empat konsep makna ini kemudian menjadi bidang garapan Posmodernisme dengan merujuk kepada era kebangkitan Revolusi Kebudayaan dan Revolusi Industri di Eropa.
Di tengah-tengah kekacauan bahasa seperti saat ini, manakala caci maki, berita-berita bohong (hoax), fitnah dan mihnah, muncul hadis-hadis palsu, isu-isu kafir dan sesat, maka umat Islam dalam koridor Ahlussunah wal Jama’ah memberi batasan dengan menampilkan bahasa yang baik sebagai cermin zaman. Bahasa kebudayaan. Al Quran yang semula Terkatakan (القول) dan Tertulis (الكتاب) pada masa Rasulullah saw diperluas bahasannya ke dalam bahasa yang lengkap berupa tafsir-tafsir, fiqh dan qanun, seni dan susastra kaum sufi, serta model-model bangunan. Artinya, Al Quran itu diejawantahkan, dimanifestasikan, ke dalam wujud yang bisa disentuh dan dibaca.
Segala sesuatu yang wujud itu merupakan budaya. Sementara budaya itu sendiri adalah sunnatullah.
Al Quran yang bisa Terkatakan dan Tertulis itu hanya sebagian, selebihnya manusia wajib mencarinya sendiri. Karena, Al Quran yang sebenarnya ada pada Lauh Mahfudh, bukan dalam bentuk materi yang Terkatakan atau Tertuliskan itu.
Dari sini dapat dipahami ayat Al Quran yang berbicara tentang budaya ini di dalam surat Yasin ayat 36;
سُبْحَٰنَ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْأَزْوَٰجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلْأَرْضُ وَمِنْ أَنفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ
Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan, semuanya, baik dari yang ditumbuhkan oleh bumi, dari diri mereka, maupun dari yang tidak mereka ketahui.
Dari ayat ini dapat dipahami, Islam yang tumbuh dari Bumi Nusantara adalah bagian dari yang tidak diketahui oleh umat Islam yang pengetahuannya terbatas atau membatasi diri karena tidak mau tahu. Apakah Allah Taala tidak mungkin untuk sekadar menurunkan WahyuNya kepada orang-orang Nusantara dengan bahasa-bahasa orang Nusantara misalnya?
Dengan demikian, jika berbicara pada kualitas bahasa, maka bahasa yang penuh dengan kebencian, fitnahan, tuduhan-tuduhan, pengkafiran, dan semua yang buruk (فجور), maka hal demikian tidak mencerminkan kualitas sebagai suku-bangsa yang baik.