Nama thariqah ini tidak begitu populer di Indonesia, mengingat “mungkin” sanad dan mursyidnya sudah susah didapat. Tidak semudah mendapatkan thariqah-thariqah yang populer sebagaimana Qadiriyah, Syadziliyah, Naqsyabandiyah, Syattariyah, atau Tijaniyah.
Di Nusantara, nama thariqah Al Kubrawiyah oleh Martin Van Bruinessen, seorang peneliti thariqah asal Belanda, dinisbatkan kepada Syekh Jumadil Kubro dan Sunan Gunungjati. Di dalam buku Madzâhib Al Tafsîr Al Islâm, (terjemah Dr. Abdul Halim A), Ignaz Goldziher (1850-1921 Masehi) menulis dengan tema khusus tentang Tafsir Isyari dari jenis-jenis metode tafsir Al Quran.
Tafsir karya Syekh Najmuddin yang terkenal namun tidak selesai ditulis karena dijemput kematian adalah Al Ta’wilat Al Najmiyah Fi Tafsir Al Isyari Al Sufi. Di Jepara, ditemukan sebuah manuskrip dari karya Syekh Najmuddin yang berjudul Ushul Al ‘Asyrah (Sepuluh Prinsip). Kitab tersebut menerangkan tentang “Syahadat Kematian” yang oleh Agus Sunyoto (1959-2021 Masehi) diklaim sebagai inti ajaran dari thariqahnya, Akmaliyah; diterjemahkan olehnya kemudian menjadi “Filsafat Kematian” sebagai inti dasar dari ajaran Syekh Siti Jenar.
Syekh Najmuddin Al Kubra atau Syekh Abu Al Jannāb Ahmad ibn Umar adalah ulama sufi yang lahir di Konye-Urgench. Ia berdarah keturunan Persia-Khawarizm. Pada mulanya, ia belajar ilmu Hadis dan Kalam. Di Mesir, ia kemudian mengenal thariqah dari Syekh Muhammad Ruzbihan ibn Abi Nashr Al Baqli Al Syirazi (1128-1209 Masehi).
Syekh Muhammad Ruzbihan adalah seorang ulama tafsir sekaligus sufi yang masyhur. Ia lahir di Fars (antara Pasargadae dan Persepolis, Iran sekarang). Kazuyo Murata, wanita peneliti dari Jepang, menyebutnya hidup pada masa keemasan Bani Saljuk (1148-1282 Masehi).
Tentang guru Syekh Najmuddin ini, Paul Ballanfat menyebutkan Syekh Muhammad Ruzbihan pada usia 23 tahun sudah belajar dan bergaul dengan kalangan sufi besar di Syirazi. Di pesantren Syekh Siraj Al Din Mahmud ibn Khalifa (w. 1165 M) tersebut, ia belajar ilmu Tasawuf dan menghafal Al Quran sampai mendapat jubah kesufian (khirqah) dari gurunya. Setelahnya, Syekh Muhammad Ruzbihan melakukan pertapaan (asketis) selama tujuh tahun di Gunung Bamu di dekat Kota Syirazi.
Carl W Ernest menyebutkan, Syekh Muhammad Ruzbihan selanjutnya belajar pula kepada Syekh Jamal Al Din Abu Al Wafa Al Fasa’i, Syekh Abu Al Safa’a Al Wasithi, Syekh Jugir Al Kurdi, Syekh Qiwam Al Din Al Suhrawardi, Syekh Fahr Al Din ibn Maryam, dan Syekh Arasyad Al Din Al Nayrizi.
Firoozeh Papan-Matin menyebutkan, Syekh Muhammad Ruzbihan hanya menimba ilmu di Syiraz saja, tetapi melakukan pengembaraan intelektual ke Irak, Hijaz (Mekah dan Madinah), Syiria, dan Mesir. Di Iskandariyah, Syekh Muhammad Ruzbihan sempat mengikuti pengajian kitab Shahih Al Bukhari di majelis Syekh Abu Al Najib Al Suhrawardi.
Menurut banyak kalangan thariqah, Syekh Najmuddin Al Kubra memulai thariqahnya melalui jalur Uwaisy, satu metode yang dikenalkan oleh sahabat Uwaisy Al Qarni. Metode ini mengajarkan tentang perjumpaan dengan Rasulullah saw melalui kerinduan, walaupun tidak secara fisik. Metode ini melakukan perjalanan spiritual dengan cara menyamar dan tidak populer sehingga tidak dikenal khalayak.
Setelah ia berguru kepada Syekh Diya’ Al Din ‘Ammar Al Bitlisi, Syekh Najmuddin memiliki pandangan untuk menuangkan gagasan dan pemikirannya ke dalam bentuk tulisan yang memiliki visi dan motivasi bagi parapembaca. Di kemudian hari, murid-murid Syekh Najmuddin adalah parapenulis sekaligus pelaku thariqah (salik) yang terkenal; diantaranya adalah Najmuddin Al Razi, Sayf Al Din Al Bakhizri, Majd Al Dīn Al Baghdadi, Ali bin Lala Al Ghaznawi dan Baha’ Al Din Walad (ayah Jalaluddin Rumi). Salah satu murid Syekh Najmuddin yang paling terkenal dan berpengaruh adalah Saad Al Din Al Hamuwayi.
Syekh Najmuddin Al Kubra wafat setelah menolak keluar dari kotanya ketika mendapat serangan dari tentara Mongol. Ia meninggalkan banyak karya yang tersebar luas di Timur Tengah dan Asia Tengah diantaranya Fawatih Al Jamal wa Fawatih Al Jalal, Ushul Al Asyra, serta Risalah Al Khaif Al Hakim min Lawmat Al Alim.
Baginya, dari Al Quran dapat mengenal beberapa lafal yang bisa dijadikan sebagai starting point (maqam) seseorang di dalam menjalani thariqah seperti sakinah, ittizan, itma’na, hada’un, ribatatun, ja’shun, istiwa’un, lambalatun, thubatun, safa’un, risanatun, raghadun, dan rakha’un. Setiap kata memiliki makna kondisi (hal atau station) bagi seorang pelaku thariqah.
Thariqah Al Kubrawiyah kemudian menghilang sehingga larut dan metode zikirnya menjadi fondasi thariqah-thariqah berikutnya seperti Al Naqsyabandiyah pada masa Kekaisaran Usmaniyah Turki dan Syattariyah yang mendapat penjelasan panjang lebar dari Syekh Ahmad Al Qusyasyi (1583-1551 Masehi). Seorang ulama yang lahir di Madinah dan menjadi mursyid thariqah Syattariyah.