Net26-Jombang Sangat pintar upaya Pemerintah Hindia Belanda (PHB) menciptakan warna konflik di kalangan masyarakat suku-bangsa Jawa. Terutama, nama sebutan Wirasaba yang diganti menjadi Jombang (singkatan dari kata ijo dan abang). Sebutan Jombang mulai muncul sejak wilayah itu menjadi kedistrikan pada 1910.
Secara definitif, Jombang menjadi salah satu kabupaten di Jawa Timur setelah dikukuhkan melalui Undang Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur.
Ada beberapa versi yang menceritakan tentang asal usul nama Jombang yang merujuk kepada dua lakon utama, Kebo Kicak dan Ki Surontanu. Namun, cerita tersebut lebih bersifat “folklor” daripada tertulis sebagaimana Negarakertagama atau Pararaton. Nama Jombang adalah sebutan baru muncul pada masa Belanda untuk menggantikan nama Wirasaba.
Menurut Adityasadji Widodo (50 tahun), seorang tokoh muda asal Jombang, sangat mungkin sebutan Jombang itu merupakan cara mudah Belanda untuk mengadudomba dan mengadukambing masyarakat. Faktanya, masyarakat sendiri baik-baik saja dalam melakukan akulturasi. “Dengan dua warna itu, sangat mudah bagi Belanda untuk melakukan pengawasan untuk melindungi pabrik-pabrik gula dan tebu mereka,” ungkap Pak Adit, sapaan pria berkacamata murah senyum itu.
“Dulu, kan, wilayah Mojokerto dan Jombang ini pusat metropolitan sejak dari masa Mpu Sindok, Airlangga, hingga Majapahit. Pada masa Mpu Sindok, tekstur keratonnya lebih bersifat benteng-benteng alam. Pada masa Airlangga, pembangunan pusat-pusat petirtaan (sumber mataair) maju dengan pesat, mulai dari Sedudo, Penanggungan dan Kumitir, hingga Kediri. Terdapat embung-embung penampung air dan pohon-pohon besar. Dari segi arsitektur, selain candi-candi yang dibangun pada masa Mpu Sindok dan Airlangga, pada masa Majapahit menemui puncaknya. Dan, jangan lupa, Jombang adalah tempat pernikahan Raja Airlangga,” terang lelaki yang sehari-hari sibuk mengayomi pelajar-pelajar di Jombang itu.
Wilayah Jombang menurut sejarawan dan arkeolog dimungkinkan sebagai gerbang Barat Kerajaan Majapahit. Di mukanya, terdapat sungai besar, Brantas, sebagai satu-satunya jalur transportasi maritim yang menghubungkan daerah laut dan pedalaman seperti Singosari, Lodaya (Tulungagung), Kediri, Mojokerto, hingga Surabaya sekarang.
Sebagai pintu gerbang Barat kerajaan, masih dapat dijumpai situs-situs Gapura Barat di Desa Tunggorono (Jombang kota), sedang Gapura Selatan dapat dijumpai di Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng. “Jalur transportasi aspal dan kereta api, kan, baru muncul pada zaman Belanda? Yang menghubungkan Kediri, Nganjuk, Mojokerto, dan Lamongan di Utara,” lanjut Pak Adit yang dikenal dekat dengan budayawan Jawa Timur, Cak Nas (Nasrul Ilah), adik Cak Nun (Emha Ainun Nadjib).
Memang, bisa jadi, yang dipikirkan oleh Pak Adit ada benarnya. Sebab, warna ijo dan abang itu menjadi bias (terpengaruh) kolonialisme. Sejarah konflik yang sengaja dimunculkan oleh Belanda untuk membelah wilayah budaya kaum hijau (santri, pesantren) dan kaum abangan (tradisional). Padahal, sekat-sekat budaya semacam itu tidak pernah ada pada masa negara prakolonial.