Era tahun 1980-1990an adalah masa-masa puncak polemik pemikiran antara Pak Ud (KHM Yusuf Hasyim, 1929-2007) dan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, 1940-2009) di media-media massa. Masyarakat pembaca kala itu bisa mengikuti tulisan-tulisan antara keduanya di berbagai media, baik daerah maupun nasional. “Konflik” terbuka tersebut diyakini berlatar belakang dari perbedaan pandangan dan langkah-langkah politik. Kendati demikian, masyarakat pembaca juga yakin tujuan Pak Ud sebenarnya adalah untuk mendidik sekaligus mengarahkan keponakan yang disayanginya itu. Dengan asumsi, tidak ada dendam dengan hati yang taslim, legawa. Coba bandingkan dengan grup-grup WA belakangan ini yang sudah memasyarakat secara lebih luas! Kebanyakan sering saling mengirim video-video tidak bermakna dan copy paste dari tulisan-tulisan orang lain secara berantai. Sehingga tidak diketahui siapa yang telah bertanggung jawab atas tulisan copy paste tersebut; apakah bisa dipertanggungjawabkan atau sekadar hoax saja?
Di Pesantren Tebuireng, Pak Ud dikenal sosok yang keras dalam mendidik. Ia sering membuat kebijakan tidak populer. Maka, tidak heran, jika kemudian juga sering didemo oleh parasantri yang di pondok-pondok pesantren lain dipandang kurang beradab.
Tapi, hal itu lumrah di Pesantren Tebuireng. Tidak sedikit santri-santri yang pernah mendemo itu menjadi sukses di kemudian hari. Mereka datang lagi ketika sudah boyong dan mengaku merasa terdidik secara politik oleh Pak Ud. Tentu, dengan risiko dibenci oleh santri-santri lainnya. Dengan catatan, demonstrasi parasantri tersebut masih dipandang pantas dan tidak di luar batas..
Meskipun di organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sudah memiliki majalah dan suratkabar sendiri. Pun, Pak Ud juga rajin menulis banyak hal di media-media massa umum, baik berupa kritik sosial maupun kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Pak Ud juga memiliki kepedulian dan perhatian serius terhadap literasi. Sebagaimana literasi bermakna membaca, memahami, dan menulis kembali yang bertujuan membangun komunikasi antara pesantren dan masyarakat. Di Tebuireng, Pak Ud membuat majalah internal yang diberi nama “Majalah Tebuireng”. Beberapa santri senior seperti KH Lukman Hakim Al Sufi, KHA Musta’in Syafiie, dan Gus Dur sendiri sebagai penyumbang artikel utamanya. Ketika majalah tersebut sempat vakum karena penulis-penulis produktif tersebut boyong, penerbitan majalah dihidupkan lagi di era Gus Sholah (KH Salahuddin Wahid, 1942-2020) dengan perhatian yang lebih intensif.
Di bawah komando Pak Ud, sebuah tim awal penelitian jejak sejarah Resolusi Jihad NU tahun 1945 dimulai. Resolusi yang dikeluarkan oleh Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari untuk menggerakkan revolusi mengusir tentara sekutu yang kembali hendak berkuasa di pulau Jawa, khususnya Jawa Timur. Jadi, kalaupun belakangan muncul buku bertemakan Resolusi Jihad NU tidak lebih dari kelanjutan penelitian yang sudah dirintis oleh Pak Ud.
Dengan demikian, kepedulian Pak Ud terhadap literasi telah mendorong kesadaran kaum santri terhadap sejarah mereka sendiri untuk dibaca secara nasional. Pekerjaan yang sebenarnya sudah diawali oleh Hadratussyekh melalui risalah-risalahnya.
Cirebon, 3 Mei 2022.