Jakarta-Net26.id Mimpi bagi orang awam bisa dipandang sebagai bunga tidur, namun tidak bagi orang-orang sholeh. Orang-orang sholeh yang senantiasa terjaga batal dari wudhu (دوام الوضوء) akan dilindungi oleh cahaya malaikat dan koneksi langsung kepada Allah Taala. Orang-orang pesantren atau kaum santri pada umumnya percaya akan hal ini. Apalagi Allah Taala telah memastikan di dalam firmanNya surat Al Syams ayat 8;
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا
Artinya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Singkat kata, Allah Taala sak wayah-wayah bisa menjatuhkan “pesan-pesan rahasia” baik yang berisi kebaikan dan kebenaran maupun hal-hal buruk.
Kebenaran Mimpi
Di dalam ayat lain pada surat Yusuf ayat 4 disebutkan tentang kebenaran mimpi;
اِذْ قَالَ يُوْسُفُ لِاَبِيْهِ يٰٓاَبَتِ اِنِّيْ رَاَيْتُ اَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَاَيْتُهُمْ لِيْ سٰجِدِيْنَ
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Sungguh, aku (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.
Dari ayat ini, hati orang-orang mukmin yakin dan percaya atas kebenaran mimpi asalkan didapat dengan cara yang benar. Kalau tidak dengan cara yang benar, maka akan didapat kefasikan-kefasikan saja seperti meramal akan sesuatu dengan tujuan maksiat.

Dikisahkan, pada suatu hari, KH Ahyat Chalimi (1918-1991) Mojokerto sudah merasa jenuh berorganisasi dan berbisnis. Dia merasa sudah maksimal melakukan usaha-usaha lahir dan batin, namun belum mendapatkan kepuasan batin. Walhasil, dengan tekad yang kuat, akhirnya ia berangkat safar dengan berjalan kaki, ziarah ke makam-makam Wali Sanggha di tanah Jawa. Setelah berbilang hari dan bulan, tibalah Mbah Ahyat di Cirebon di makam Sunan Gunungjati.
Di makam Sunan Gunungjati itu, Mbah Ahyat bermimpi ditemui oleh Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari, gurunya-pendiri NU, seraya berpesan, “Yat, muliho, mulango! Mengko sekabehane mbok kekarepke bakal keturutan.” (Yat, pulang dan mengajarlah! Nanti semua yang kau harap-harapkan akan tercapai semua).
Dengan tanpa ragu lagi, Mbah Ahyat bergegas pulang ke Mojokerto dan mulai mendirikan pesantren. Tak berapa lama, pesantrennya pun ramai dan di kemudian hari Mbah Ahyat menjadi salah satu kiai yang disegani di NU. Dia pula yang pertama melontarkan gagasan Khittah NU 1926 pada Muktamar NU ke-23 di Solo tahun 1962.
Malam Jumat Kliwon
Di dalam kitab-kitab kuning, kalangan santri juga sering menemukan tentang cerita-cerita yang dianggap mustahil karena tak kasat mata. Terutama, kalangan Wahabi-Salafi sangat tidak mempercayainya ketika seseorang dapat berjumpa ruh seseorang, baik di dalam mimpi atau terjaga (يقظة). Karena, mereka beranggapan tidak ada dalilnya.
Dari cerita-cerita orangtua, kaum santri biasanya percaya kalau malam keramat di Jawa Timur pada umumnya adalah Malam Jum’at Legi. Di Jawa Tengah adalah Malam Jum’at Wage, sementara di Jawa Barat dan Sumatera adalah Malam Jum’at Kliwon. Malam keramat ini dimaksudkan karena parawali Allah sedang berkumpul di suatu tempat yang sering berpindah-pindah lokasi. Orang-orang awam sering berpantang di malam-malam keramat itu. Mereka memperbanyak mujahadah dan berdoa.
Adalah KH Nu’man Bashori atau sering disapa Gus Nu’man, putera KH Bashori Alwi Murtadlo (1927-2020), pendiri Pondok Pesantren Tahfidh Ilmu Quran (PIQ), Dengkol, Singosari, Malang.
KH Bashori Alwi dikenal sebagai qari internasional, pendiri Jam’iyatul Qurra wal Huffadh (JQH) Nahdlatul Ulama, penggagas Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ).
Pada tengah malam Jum’at Kliwon, 3/5/2022, Gus Nu’man sowan ke kediaman Buya Said (KH Said Aqil Siroj) di Ciganjur. Menurut sumber yang enggan disebut namanya, dengan tutur dan tindak tanduk santun dan tawadu, Gus Nu’man menyampaikan pesan yang dianggapnya sangat penting kepada Buya Said.
Setelah menghabiskan semangkuk bakso, Gus Nu’man mulai memberanikan diri, matur dengan bahasa Jawa, “Buya, saya mendapat mimpi didatangi oleh Mbah Hasyim (Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari), walaupun Buya ada di luar, tetaplah bantu NU!”
Mendengar tutur kata halus itu, Buya Said seperti tersambar petir di siang bolong, terkejut. “Saya bisa apa, Gus?!” tanyanya, tergagap dengan mata berkaca-kaca.
Untung makan malam telah usai, kalau tidak, mungkin Buya Said sudah tersedak.
Suasana menjadi hening.
Dengan lembut, kalem, Gus Nu’man melanjutkan kata-katanya, “Ibarat dokter, hanya Buya yang bisa mengobati.”
Buya Said tercengang sebentar. Dan, untuk menghilangkan rasa kikuknya, Buya Said kemudian mengalihkan pembicaraan pada hal-hal lucu.
Cirebon, 3 Mei 2022.