Ngawi-Net26.id Sebelum melangkah ke dalam wilayah tafsir, Gus Kamid (KH Hamid Khoirul Hidayat, pengasuh Pondok Pesantren Miftachul Ulum, Pelang Lor, Ngawi) sudah lama berancang-ancang mempelajari sejarah dan tafsir. Tidak tanggung-tanggung, ia sudah menyeriusi kitab tafsir Mafatih Al Ghaib atau Al Tafsir Al Kabir li Al Quran Al Karim karya Fakhruddin Al Razi (1150-1210 Masehi). Ulama kenamaan asal Persia setelah era Imam Al Ghazali (wafat 1111 Masehi). Adapun kitab tafsir yang dikenal dengan nama “Tafsir Al Razi” tersebut sedang menjadi tren perbincangan karena sedang dikaji oleh Buya Said (KH Said Aqil Siroj). Dan, secara khusus, Gus Kamid sedang mengambil jeda waktu untuk ngaji sorogan kepada Buya Said secara langsung.
Menjatuhkan Pilihan
“Menjadi ahli tafsir tentu tidak mudah, ya?” katanya kepada Net26.id beberapa waktu lalu. “Butuh ketelatenan dan kesungguhan. Apalagi sekaliber Mafatih. Secara normatif, syarat-syarat untuk menjadi mufassir sudah disebutkan dalam beberapa kitab atau buku pengantar tafsir. Tapi, secara spesifik, menurut saya, seorang mufassir harus memiliki kecenderung dan disiplin ilmu-ilmu tertentu. Ada satu bidang ilmu khusus yang ditekuni. Misal, Dr Moh Syahrur yang memiliki latar belakang teknokrat atau insinyur. Tafsir ayat Al Qurannya merepresentasikan teknologi ke dalam teorinya. Untuk sekarang, dibutuhkan spesialis yang bisa menafsirkan ayat-ayat Al Quran dengan ilmunya. Sehingga tidak salah baca.”
Gus Kamid merasa sedih, karena tafsir-tafsir Al Quran yang hadir belakangan sering tidak memuaskan. Hampir semua berangkat ke arah ramalan terhadap realitas yang mengambang, padahal Al Quran tidak semata berbicara demikian. “Coba lihat tulisan-tulisan dan video-video yang beredar tentang ramalan akhir zaman! Meskipun kita tidak mengingkari akhir zaman itu akan tiba, tapi tidak perlu dihadirkan secara sembarangan. Sembarangan yang saya maksud tentu sesuai dengan disiplin ilmu-ilmu positif. Misal, jika memang bumi ini sudah tua, secara ilmu berapa tahun usia ketuaan bumi bisa hancur? Sehingga kita tak bisa berandai-andai. Minimal mendekatilah walau tidak mutlak,” ungkap Gus Kamid, setengah emosi.
Sebagai pecinta Al Quran, Gus Kamid merasa senang ketika Buya Said sudi membabar dan mendedah (menyingkap) tafsir Mafatih Al Ghaib. Ia memandang langka untuk zaman sekarang, karena Fakhruddin Al Razi memiliki latar belakang fisikawan. “Harus belajar ilmu fisika dulu,” tukas Gus Kamid.
“Untuk sekarang kita tidak bisa berandai-andai dalam ramalan-ramalan yang tidak jelas. Zaman teknologi saat ini dibutuhkan sebuah tafsir positivistik. Dan, Buya Said, saya pandang mampu mendedahnya dengan baik. Saya ingin berguru kepada Beliau,” lanjut Gus Kamid.
Pilihan yang Tepat
Gus Kamid dikenal memiliki insting yang kuat. Pilihan hatinya tidak saja terpaut pada disiplin ilmu yang sedang ditekuninya. Dengan berbekal sejarah bersama Gus Muwafiq, ia berharap tulisannya akan berbicara tuntas mengenai sebuah kitab tafsir.
Ketika disinggung tentang gadis yang bersembunyi di balik senyumannya, Gus Kamid tertawa lebar. “Sudah sampai, kan, undangannya?” katanya, meyakinkan. “Ya, itu pilihan yang tepat.”
Dalam obrolan panjang itu, Gus Kamid menegaskan tentang kesungguhannya. “Saya akan maksimal belajar menulis kitab tafsir. Mumpung ada waktu untuk berguru kepada Buya Said dalam beberapa waktu. Karena, saya sadar Buya sangat sibuk,” tukasnya. “Kita tidak bisa berbicara tentang ramalan-ramalan akhir zaman secara serampangan. Harus didukung oleh ilmu pengetahuan yang memadai. Bukan sebaran hoax hanya untuk menakut-nakuti masyarakat.”