Simbol-simbol agama masih menjadi puncak keimanan suatu kaum seperti menyembah berhala, kitab suci, atau bahkan bendera perang. Karena simbol-simbol ini, tidak tidak jarang menimbulkan polemik, pertikaian, bahkan peperangan.
Namun, apakah karena simbol-simbol pula pemahaman kemudian tidak bisa berubah?
Nama dan Bahasa
Nama seseorang dan bahasa yang dibaca menjadi sebab keseragaman dan mengecoh keragaman. Nama Thariq bin Ziyad (670-720 Masehi) umpamanya. Panglima yang memimpin pasukan ke semenanjung Iberia tersebut sekilas berkonotasi sebagai seorang bersuku-bangsa Arab dan tentunya muslim.
Baik, Thariq bin Ziyad adalah seorang muslim, tapi dia seorang bersuku-bangsa Barber yang mendapat perintah dari pemimpinnya di Marakesh untuk menguasai Andalusia.
Secara simbolik, Buya Syakur Yasin menjelaskan tentang lukisan Bunda Maria di dalam Kakbah. Dan, memberi indikasi kalau Sayidah Khadijah, isteri Rasulullah Saw, sebelumnya adalah pemeluk Nasrani yang taat. Indikasinya, Rasulullah Saw tidak berpoligami manakala masih bersama Sayidah Khadijah.
Tentu saja, pendekatan susastra dan sejarah yang dilakukan oleh Buya Syakur Yasin tersebut telah memicu kontroversi. Terutama, makna kata “sempurna” dalam sebuah proses.
Belum lepas dari ingatan pernyataan kontroversi Buya Syakur Yasin tersebut, baru-baru ini, terdapat pula indikasi jika Abdul Muthalib, kakek Rasulullah Saw, berasal dari suku-bangsa Khazraj yang beragama Yahudi. Sebagaimana Yahudi adalah sebuah identitas agama sekaligus kesukuan yang melekat, karena sifatnya yang tertutup.
Lantas, apakah akan menjadi problem jika diketahui di dalam darah Rasulullah Saw mengalir darah suku-bangsa Yahudi sementara istrinya pernah bergama Nasrani? Dan, selanjutnya, Rasulullah Saw pun menikahi Mariyah binti Syam’un Al Qibtiyah. Seorang perempuan yang terlahir dari suku-bangsa Qibti (Koptik) dari Mesir yang menganut agama Kristen Ortodoks.
Di sini, tafsir-tafsir agama yang terus berperan dan belum juga sempurna kembali harus direkonstruksikan. Sebab, sebagai sebuah pemahaman, kehadiran Al Quran merupakan kritik yang bisa diterima, juga bisa tidak.
Masa Depan Tafsir Susastra dan Sejarah
Tafsir Al Quran dengan pendekatan susastra dan sejarah sudah dipopulerkan oleh Abu Al Qasim Mahmud ibn Umar Al Zamakhsyari (1075-1144 Masehi) dan Jalaluddin Al Suyuthi (wafat 1505 Masehi). Meskipun karya-karya keduanya sering dibaca oleh kalangan mayoritas umat Islam, namun teknik dan metodologi yang digunakan oleh keduanya masih jarang menjadi perhatian. Tentu, dengan alasan keimanan. Sebab, baik susastra maupun sejarah cenderung terbuka terhadap kritik. Tidak dalam kerangka keimanan yang tertutup. Tertutup tentunya mengikuti aturan-aturan ideologi dalam kerangka benar dan salah menurut fiqh. Padahal, masih ada aspek-aspek lain yang sebenarnya dapat dijadikan bukti, memperkuat argumen, serta merekonstruksi kesempurnaan-kesempurnaan di dalam menghadapi realitas.
Sebuah ideologi tertutup dapat saja berlaku bagi komunitas masyarakat yang heterogen seperti di kampung-kampung dengan tradisi yang melekat. Namun, memerlukan rasionalisasi jika berada dalam lingkup yang heterogen. Dengan kata lain, simbol dan bahasa dapat saja mengalami perubahan-perubahan selama esensi dapat dimengerti. Sehingga eksistensi dapat hadir dalam warna dan ragam yang berbeda, tidak saklek. Pendekatan-pendekatan fiqhiyah dapat saja masih berlaku bagi alam kultur yang seragam. Bagi pelajar-pelajar pemula. Tapi, memerlukan rasionalisasi bagi komunitas dan budaya dalam komunitas yang lebih besar.
Cirebon, 15 Mei 2022.