Mesir menjadi salah satu lokasi penting dalam sejarah peradaban kuno dunia. Wilayah Laut Mediterania yang strategis karena menghubungkan Barat dan Timur telah menjadi rebutan berbagai suku-bangsa, baik dari Eropa, Asia Barat, maupun Afrika sendiri. Ptolemy alias Firaun adalah dinasti orang-orang suku-bangsa Yunani yang cukup lama menduduki wilayah Mesir. Mengalahkan penduduk aslinya. Di dalam susastra dan termuat sebagian oleh kitab-kitab suci, Mesir memiliki keistimewaan tersendiri seperti kisah Firaun zaman Nabi Musa As.
Jika merunut pada sejarah masa lalu, Mesir pernah menjadi pusat kebudayaan suku-bangsa Fenisia, Akkadia (Asyur), Persia, kemudian Yunani, Roma dan Arab.
Hubungan Roma dan Yunani dalam mengambil peran lalu lintas Laut Mediterania akan menjadi menarik dalam pembahasan tersendiri. Peradaban Mesir Kuno didahului oleh kehidupan Badari, Amratia, dan Gerzia yang masih menggunakan peralatan batu dan tulang pada 4400-4000 sebelum Masehi. Dari pantai Byblos, diketahui hubungan antara Gerzia dan Kanaan. Di Mesir Hulu (sungai Nil), terdapat kebudayaan Naqada. Anak suku-bangsa Kanaan yang tersebar di Afrika Selatan seperti suku-bangsa Nubia (Ethiopia) yang berkulit hitam. Suku-bangsa Nubia mengambil peran peradaban sebagai petani pada awalnya. Kemudian, menjadi kuat dan menyerbu Mesir sekitar 1000 tahun sebelum Masehi.
Kebanggaan Suku-bangsa Mesir
Sama seperti suku-bangsa yang lain di dunia, suku-bangsa Mesir juga memiliki kebanggaan kepada jatidiri mereka sendiri. Kebanggaan yang disebut sebagai syu’ubiyah (fanatisme suku-bangsa) sering disinggung sebagai sikap yang negatif oleh umat Islam sendiri, padahal jika dikaitkan dengan suku-bangsa Arab juga sama.
Tidak semua Firaun negatif menurut suku-bangsa Mesir. Bahkan, mereka bangga atas kebesaran dan keagungan raja-raja masa lalu mereka. Karena, persoalan keimanan berbeda dengan persoalan sejarah. Setiap sejarah tetap saja ada yang salah.
Seperti suku-suku-bangsa lain, mereka memiliki leluhur yang gagah berani, tampan, cantik, dan bijaksana dalam persepsi positif. Berkat persepsi positif itu di kemudian hari dipersonifikasikan ke dalam bentuk susastra dan patung-patung. Melalui media susastra dan patung-patung atau berhala-berhala tersebut kemudian dipuja dan jadi sesembahan. Demikian pula, suku-bangsa Mesir. Mereka melakukan hal yang sama berkat keangkuhan dan kesombongan. Tidak jarang, mereka mendaulat diri sebagai sosok yang harus disembah.
Kristen Koptik
Lembah sungai Nil menjadi pusat wisata yang mengasyikkan. Kesuburan lahan itu telah mengundang banyak cerita dan suku-suku-bangsa, bahkan juga agama. Wilayah Timur Laut Mesir menjadi bagian luasan Tanah Kanaan sehingga menempatkan suku-bangsa/agama Yahudi berkembang. Cerita dua belas anak-anak Nabi Yakub As diabadikan di dalam kitab-kitab suci agama-agama Ibrahimiah.
Gereja Kristen Koptik atau Kubti menjadi yang terbesar di Mesir dan Timur Tengah. Kristen Koptik Mesir menjadi mercusuar dan pemeluknya tersebar ke berbagai penjuru dunia.
Memang, konflik internal di antara pemeluk Kristen sendiri dan tentunya Yahudi tidak cukup mengemuka dalam latar sejarah heroik Perang Salib (crusade). Cerita sering lebih menekankan pada heroisme dan tendensius agama, terutama Islam.
Dalam kisah Nabi Musa As terdapat pertikaian antara suku-bangsa Israel dan suku-bangsa Kubti (Qibtiyah). Belakangan, suku-bangsa Kubti menjadi penganut Kristen Koptik terbesar sehingga dinisbatkan pada sebutan suku-bangsa mereka, Kubti atau Qibti atau Koptik.
Dari aspek genetik, suku-bangsa Mesir Kuno lebih dekat kepada genetika suku-bangsa Eropa dan Asia. Namun, dari aspek bahasa, bahasa Kubti sudah digunakan sebelum kedatangan suku-bangsa Yunani ke Mesir.
Bahasa Kubti digunakan di Mesir bagian Utara setidaknya hingga abad ke-17 Masehi. Sementara pengaruh alfabet Yunani pada abad pertama Masehi. Bahasa Kubti menjadi populer ketika menjadi bahasa agama (Kristen Koptik).
Orang-orang Kristen pertama di Mesir muncul dari kalangan suku-bangsa Kubti. Mereka menjadi penganut Kristen taat setelah mendapat tekanan dari suku-bangsa Yahudi (Yudea) di Palestina. Bahasa Kubti menjadi bahasa umum di masyarakat untuk penyebaran Injil di Mesir.
Namun demikian, perselisihan akibat terbitnya Konsili Khalsedon menyebabkan Gereja Kubti menderita penganiayaan di masa Kekaisaran Bizantium.
Melkite sebagai pemimpin agung sekaligus gubernur yang ditunjuk oleh kaisar telah membantai penduduk Kristen Kubti yang dianggap sesat, karena menolak Konsili Khalsedon tersebut.
Meskipun mendapat banyak tekanan, jemaat gereja di Mesir tetap setia kepada pandangan Kristologi Cyrillian. Seorang Kudus dari Mesir yang setia pada periode tersebut adalah Santo Samuel Konfesor.